Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Hal.
45 – 56, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta,
Cetakan Kedua: Dzulhijjah 1427 H / Januari
2007
Rasulullah saat hendak melakukan sujud,
meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu
sebelum kedua tangannya. Setelah meletakkan
kedua lutut, beliau kemudian meletakkan kedua
tangan, lalu kening, lalu hidung,
Itulah tuntunan sujud yang benar, yang
diriwayatkan dalam sebuah hadits oleh Syarik,
dari Ashim bin Kulaib, dari ayahnya, dari
Wail bin Hajar. Wail mengatakan bahwa ia
pernah melihat Rasulullah ketika hendak sujud,
maka beliau meletakkan kedua lututnya
sebelum meletakkan kedua tangannya. Dan
ketika beliau bangkit, maka beliau mengangkat
kedua tangan sebelum mengangkat kedua
lututnya. (Diriwayatkan oleh Abu Daud, 838,
dalam kitab Ash-Shalah, Bab Kaifa Yadha’
Rukhbataihi qabla Yadaihi, At-Tarmidzi, 268,
dalam kitab Ash-Shalah, Bab Ma Ja’a fi
Wadh’i al-Yadain qabla ar-Rukbatain fi as-
Sujud, Ibnu Majah, 882, dalam Kitab Al-
Iqamah, Bab As-Sujud, dan An-Nasa’i,
2/206-207, dalam Kitab Al-Iftitah, Bab
Awwalu Ma Yashilu ila al-Ardh min al-Insan
fi Sujudihi. Al-Bani dalam Dha’if Sunan At-
Tirmidzi, 44, mengatakan bahwa hadist
tersebut dha’if)
Dalam soal sujud ini, tak ada yang
meriwayatkan hadist yang bertentangan dengan
keterangan tersebut.
Adapun Hadist dari Abu Hurairah yang
berbunyi,
Apabila salah seorang di antara kalian
melakukan sujud, maka janganlah ia mendekam
sebagaimana mendekamnya seeokor unta
(maksudnya melakukan gerakan seperti
gerakan mendekamnya unta) dan hendaklah ia
meletakkan kedua tangannya sebelum
meletakkan kedua lututnya. (Diriwayatkan oleh
Abu Dawud, 841, dalam Kitab Ash-Shalah,
Bab Kaifa Yadha’ Rukhbataihi qabla Yadaihi,
At-Tarmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah
Bab No. 85, An-Nasa’i 2/207, dalam Kitab
Al-Iftitah, Bab Awwalu Ma Yashiluila al-Ardh
min al-Insan fi Sujudihi, dan Ahmad 2/381.
Hadist tersebut dianggap shahih pula oleh al-
Albani dalam Shahih Al-Jami’, 595)
Hadist ini -wallahu a’lam- mengandung wahm
(kesalahan) dari beberapa perawinya. Bagian
awal redaksi hadist tersebut bertolak belakang
dengan bagian akhirnya. Karena jika seseorang
meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu
sebelum meletakkan kedua lututnya , justru
berarti dia telah mendekam seperti
mendekamnya onta. Dalam kenyataannya, unta
ketika mendekam memang meletakkan kedua
tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih
dahulu, baru kedua lututnya (kaki belakangnya
-ed.)
Setelah mendapatkan penjelasan tentang fakta
gerak mendekamnya unta itu, orang-orang yang
berpegang kukuh pada kebenaran redaksi
hadist di atas lantas membuat alasan bahwa
yang dimaksud kedua lutut unta itu
sebenarnya adalah kedua kaki depannya, bukan
kaki belakangnya. Unta ketika sedang
mendekam, maka pertama kali meletakkan
kedua lututnya (kaki depannya -ed.) terlebih
dahulu. Dan inilah yang dilarang dalam sujud.
Namun pendapat tersebut juga salah karena
beberapa hal:
1. Ketika unta mendekam, ia meletakkan kedua
tangannya (kaki depannya -ed.) terlebih
dahulu. Sedangkan kedua kakinya (kaki
belakang -ed.) masih berdiri tegak. Ketika unta
hendak bangkit. maka ia akan bangkit dengan
kedua kakinya terlebih dahulu, sedang kedua
tangannya masih berada di tanah.
Inilah sebenarnya yang dilarang oleh
Rasulullah dalam melakukan sujud. Intinya,
ketika hendak sujud maka harus menjatuhkan
anggota badannya yang paling dekat dengan
tanah, kemudian anggota badan yang lebih
dekat dengan anggota badan pertama. Ketika
hendak bangkit, maka yang pertama kali
diangkat adalah anggota badan yang paling
atas.
Rasulullah ketika hendak sujud, pertama beliau
meletakkan kedua lututnya terlebih dahulu,
kemudian kedua tangannya, setelah itu
keningnya. Saat bangkit dari sujud, beliau
mengangkat kepala lebih dahulu, lalu kedua
tangannya, dan setelah itu baru kedua
lututnya.
Gerakan seperti itu berbeda dengan gerak
mendekam yang dilakukan unta. Rasulullah
amat melarang umatnya melakukan gerakan
sholat yang menyerupai gerakan suatu jenis
binatang. Misalnya, beliau melarang untuk
mendekam sebagaimana mendekamnya unta,
melarang berpindah-pindah sebagaimana
berpindahnya serigala, melarang duduk dengan
membentangkan kaki sebagaimana yang
dilakukan binatang buas, melarang berjongkok
sebagaimana berjongkoknya anjing, melarang
menekuk jari yang sampai berbunyi
sebagaimana yang dilakukan gagak (Hadist ini
diriwayatkan oleh Abu Dawud 62 dalam Kitab
Ash-Shalah Bab Shalah Man la Yuqim
Shalbahu fi ar-Ruku wa as-Sujud. An-Nasa’i
2/214 dalam Kita Al-Iftitah, Bab An-Nahyu
‘an Naqrah al-Ghurab. Ibnu Majah, 1429,
dalam Kitab Al-Iqamah, Bab Ma Ja’a fi
Tauthid al-Makan fi al-Masjid Yushalli fihi.
Dan Ahmad 3/428, 444, dari Abdurrahman
bin Syabl, ia berkata,”Rasulullah saw. telah
melarang untuk menekuk jari sampai berbunyi
sebagaimana yang dilakukan gagak, melarang
duduk dengan membentangkan kaki
sebagaimana yang dilakukan bintang buas, dan
melarang menambatkan sesuatu di masjid
seperti menambatkan unta.” Hadist di atas
dianggap shahih pula oleh al-Albani dalam
shahih Sunan Abu Dawud), dan melarang
mengangkat tangan ketika salam sebagaimana
gerakan ekor kuda terhadap matahari. Yang
jelas, tuntunan gerakan shalat itu sangat
berbeda dengan gerakan aneka jenis binatang.
2. Pendapat yang menyatakan bahwa kedua
lutut unta itu terletak pada kedua tangannya
(kaki depannya -ed) adalah pendapat yang
tidak masuk akal dan tidak dikenal oleh para
ahli bahasa, karena lutut unta itu terletak di
kedua kaki belakangnya
3. Andaikata penjelasan hadits yang mereka
utarakan itu benar, maka mestinya redaksi
hadistnya berbunyi, “Maka hendaklah orang
yang shalat mendekam sebagaimana
mendekamnya unta.” Yang pertama kali
menyentuh tanah adalah kedua tangannya (kaki
depan -ed) unta. Di sinilah inti masalah ini.
Yaitu bahwa bagi siapa saja yagn mau
memikirkan mendekamnya unta, dan ia
mengerti bahwa Rasulullah melarang untuk
mendekam sebagaimana mendekamnya unta,
maka orang tersebut akan yakin bahwa hadist
Wa’il bin Hajar adalah yang benar.
Wallahua’lam
Menurut saya, dalam hadist Abu Hurairah di
atas telah terjadi pembalikan (kesalahan)
redaksi hadistnya oleh sebagian perawi Hadist.
Barangkali saja redaksi hadist yang benar
adalah, “Dan hendaklah meletakkan kedua
lututnya sebelum meletakkan kedua
tangannya.”
Kasus kesalah redaksi hadist seperti ini juga
dilakukan oleh sebagian perawi terhadap hadist
Ibnu Umar, bahwa Bilal melakukan adzan
pertama dan waktu malam (sebelum terbit
fajar -ed.), maka makan dan minumlah kalian
sampai Ibnu Ummi Maktum
mengumandangkan adzan (subuh -ed.) (Hadist
ini shahih, diriwayatkan oleh Bukhari, 1918,
dalam kitab Ash-Shaum, Bab Qaul an-Nabi
Shalallahu ‘alaihi wa sallam, “La
Yammna’ukum sahurakum adzanu Bilal.”).
Sebagian perawinya mengatakan, bahwa Ibnu
Ummi Maktum yang melakukan adzan pada
waltu malam (sebelum fajar -ed.), maka
makan minumlah kalian sampai Bilal
mengumandangkan adzan (subuh -ed.).
Contoh lain yang serupa terjadi pula dalam
suatu hadist yang berbunyi, “Calon penghuni
neraka akan terus dilemparkan ke dalam
neraka. Lalu neraka berkata, ‘Apa masih ada
lagi?’” Sampai sabda beliau yang berbunyi,
“Sedangkan surga, maka Allah akan
menciptakan makhluk yang akan ditempatkan di
dalamnya.” (Hadist ini shahih, diriwayatkan
oleh Bukhari, 4850, dalam Kitab At-Tafsir,
Bab Qouluhu Ta’ala, “Wa Taqulu Hal min
Mazid?” Hadist dari Abu Hurairah r.a.)
Sebagian Perawi melakukan pembalikan
terhadap redaksi hadist tersebut dengan
mengatakan, “Sedangkan neraka, maka Allah
akan menciptakan makhluk yang akan
ditempatkan di dalamnya.”
Bahkan saya juga melihat Abu Bakar bin Abi
Syaibah (Nama Lengkap Abu Bakar bin Abi
Syaibah adalah Muhammad bin Abi Syaibah,
seorang hafizh, berasal dari Kufah. Abu Ubaid
Al-Qasim mengatakan bahwa dirinya
mengambil ilmu dari empat ulama, yaitu Abu
Bakar sebagai guru pertama, Ahmad sebagai
yang paling pintar dalam bidang fikih di antara
para gurunya, Yahya adalah yang paling
kompleks, dan Ali adalah yang paling alim.
Abu Bakar meninggal dunia pada 235 H. Lihat
At-Tahdzib, 2/499) ikut pula meriwayatkan
hadist yang terbalik seperti itu. Ibnu Abi
Syaibah mengatakan, “Aku mendapat berita
dari Muhammad bin Fudhail, dari Abdullah bin
Sa’id, dari kakeknya, dari Abu Hurairah, dari
Rasulullah saw., beliau bersabda, “Apabila
salah seorang di antara kalian hendak
melakukan sujud, maka mulailah dengan
meletakkan kedua lututnya sebelum meletakkan
kedua tangannya. Dan janganlah mendekam
sebagaimana mendekamnya kuda
jantan.” (Sanad hadist ini lemah sekali.
Abdullah bin Sa’id al-Maqburi adalah
termasuk orang yang lemah sebagaimana
keterangan yang ada pada At-Taqrib).
Hadits serupa juga diriwayatkan oleh al-
Atsram dalam Sunannya dari Abu Bakar
dengan redaksi yang sama. Ada pula hadits
periwayatan Abu Hurairah yang membenarkan
hal itu adalah cocok dengan hadits Wail bin
Hajar.
Ibnu Abu Daud (Ibnu Abu Daud adalah Abu
Bakar, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats,
seorang imam yang hafizh, al-’Alamah.Ibnu Abu Daud (Ibnu Abu Daud adalah Abu
Bakar, Abdullah bin Sulaiman bin Al-Asy’ats,
seorang imam yang hafizh, al-’Alamah,
seorang syekh besar di Baghdad, as-Sijistani.
ia banyak memiliki karya. Ibnu Abu Daud
dilahirkan pada 23H. Ada beberapa orang yang
menyinggung riwayat hidupnya, antara lain
ayahnya sendiri dalam buku As-Siyar,
13/221) mengatakan, “Aku mendapatkan kabar
dari Ibnu Fudhail, yaitu Muhammad, dari
Abdullah bin Sa’id, dari kakeknya, dari Abu
Hurairah, bahwa Nabi saw. ketika hendak
sujud memulainya dengan kedua lututnya
sebelum meletakkan kedua tangannya.” (Sanad
Hadits ini lemah sekali. Hadits ini
diriwayatkan oleh Baihaqi, 2/100. Di dalam
hadits ini terdapat perawi yang bernama
Abdullah bin Sa’id al-Maqburi, dan dia
termasuk orang yang ditinggal dalam menerima
periwayatan hadits darinya).
Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya telah
meriwayatkan hadits dari Mush’ab bin Sa’ad,
dari ayahnya, ia berkata, “Kami pernah
meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan
kedua lutut. Kemudian kami diperintahkan
meletakkan lutut terlebih dahulu sebelum
meletakkan kedua tangan.” (Hadits ini memiliki
cacat. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Khuzaimah, 628. Tentang penjelasan cacatnya,
lihat pada penjelasan berikutnya)
Dengan melihat hadist di atas, maka bila
hadits dari Abu Hurairah masih dianggap
benar, berarti hadits tersebut telah dinasakh
(diganti). Itulah pendapat yang diyakini oleh
pengarang Kitab Al-Mughni dan lainnya. Tetapi
penting untuk diketahui bahwa dalam hadits
dari Mush’ab ini terdapat dua cacat.
1. Hadits tersebut adalah dari periwayatan
Yahya bin Salamah Kuhail (Yahya bin
Salamah bin Kuhail. Lihat dalam Al-Mizan,
9527, At-Tahdzib, 4/361 dan At-Taqrib,
7561. Ibny Hajar mengatakan, “Ia adalah
orang yang ditinggalkan periwayatannya. Ia
termasuk golongan Syi’ah.”), dan ia termasuk
orang yang tidak bisa dijadikan hujjah atau
patokan. An-Nasa’i mengatakan, “Ia termasuk
orang yang ditinggalkan periwayatannya.” Ibnu
Hibban berkata, “Ia termasuk orang yang
mengingkari hadits. Oleh sebab itu tidak dapat
dijadikan hujjah.” Ibnu Mu’ayyan mengatakan,
“Tidak apa-apa.”
2. Bahwa yang dapat dipetik dari periwayatan
Mush’ab bin Sa’ad, dari ayahnya, hanyalah
tentang maslah praktek. Dan ucapan Sa’ad,
“Kami berbuat seperti itu, kemudian Rasulullah
menyuruh kami agar meletakkan kedua tangan
di atas lutut.”
Sedangkan perkataan pengarang Al-Mughni
dari Abu Sa’id mengatakan, “Kami pernah
meletakkan kedua tangan sebelum meletakkan
kedua lutut. Setelah itu kami diperintahkan
untuk meletakkan kedua lutut sebelum
meletakkan kedua tangan.” – Wallahu A’lam-
itu hanyalah kesalahan dalam nama saja. Yang
benar adalah Sa’ad bukan Sa’id. Kalaupun dari
Sa’ad, itupun juga terdapat keraguan dalam
sisi hadits sebagaiman penjelasan yang telah
lalu. Yang penting, hadits tersebut hanyalah
sebatas praktek. Wallahu a’lam.
Adapun tentang hadits Abu Hurairah di muka,
maka Bukhari, at-Tirmidzi, dan ad-Daruquthni
memberikan penilaian cacat.
Bukhari mengatakan bahwa Muhammad bin
Abdullah bin Hasan (Muhammad bin Abdullah
bin Hasan adalah Abdullah, al-Madani, dan al-
Hasyimi. Ia seorang yang dapat dipercaya. Al-
Hafizh Ibnu Hajar dalam At-Tahdzib, 3/604,
menuturkan periwayatannya dari Abu az-
Zanad, dan Ibnu Hajar tak memberi komentar
apapun, serta tidak menyinggung perkataan
Bukhari) adalah orang yang tidak dapat diikuti.
Bukhari juga berkata, “Aku sendiri tidak
mengerti apakah ia mendengar langsung dari
Abu az-Zanad (Abu az-Zanad adalah Abdullah
bin Dzakwan al-Quraisyi, ayah Abdurrahman
al-Madani, yang lebih dikenal dengan sebutan
Abu az-Zanad. Ia seorang yang tsiqah, dan
termasuk golongan tabi’in yang utama. Abu az-
Zanad meninggal pada 130H, tetapi ada yagn
mengatakan di tahun yang lain. Lihat At-
Tahdzib, 2/329) ataukah tidak.”
At- Tirmidzi mengatakan, “Hadits tersebut
asing. Aku tidak pernah mengenalnya dari Abu
az-Zanad kecuali dari arah ini.”
Ad-Daruquthni mengatakan bahwa Abdul Aziz
ad-Darawardi menyendirikan hadits tersebut,
dari Muhammad bin Abdullah bin Hasan al-
Alawi, dari Abu az-Zanad.
An-Nasa’i telah menuturkan dari Qutaibah,
“Aku mendapat berita dari Abdullah bin Nafi’,
dari Muhammad Abdullah bin Hasan al-Alawi,
dari Abu az-Zanad, dari al-A’raj, dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw. telah
bersabda, “Salah seorang di antara kalian
membuat kesengajaan dalam shalat. Yaitu
mendekam sebagaimana mendekamnya
unta.” (Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh
Abu Daud, 741, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab
Kaifa Yadha’ Rrukbataihi qabla Yadaihi; at-
Tirmidzi, 269, dalam Kitab Ash-Shalah, Bab
no. 85; dan An-Nasa’i, 2/207, Al-Albani
menganggap shahih hadits tersebut dalam
Shahih Sunan Abu Daud) Redaksinya tidak
lebih dari itu.
Abu Bakar bin Abi Daud mengatakan, “Itulah
sunnah yang dipegang ahli Madinah. Dalam
sunnah tersebut, mereka memiliki dua sanad.
Yang satunya seperti di atas dan yang lain
adalah dari Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu
Umar, dari Nabi saw.”
Ibnu Qayyim memberikan komentar, “Ahli
Madinah dengan hadits periwayatan Ashbagh
bin al-Faraj, dari ad-Darawardi, dari
Ubaidillah, dari Nafi’, dari Ibnu Umar,
menjelaskan bahwa Rasulullah saw. pernah
meletakkan kedua tangannya terlebih dahulu
sebelum meletakkan kedua lututnya. Kemudian
ahli Madinah mengatakan bahwa itulah yang
pernah dilakukan Rasulullah saw.” (Hadits ini
diriwayatkan oleh Hakim, 821)
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Hakim
dalam Al-Mustadrak dari jalan periwayatan
Muhriz bin Salamah, dari ad-Darawardi.
Hakim mengatakan kalau hadits tersebut
sesuai dengan persyaratan yang diberikan oleh
Imam Muslim.
Hakim pernah meriwayatkan sebuah hadits
dari Hafsh bin Ibnu Ghiyats, dari Ashim al-
Ahwal, dari Anas, ia berkata, “Aku pernah
melihat Rasulullah saw. sedang turun dari
berdiri dengan membaca takbir sehingga kedua
lututnya mendahului kedua
tangannya.” ( Sanad hadits ini dha’if,
diriwayatkan oleh Hakim, 822, dan dalam
sanadnya terdapat al-’Ala’ bin Ismail, seorang
yang tidak jelas)
Hakim menganggap kalau hadits tersebut telah
sesuai dengan syarat yang ditetapkan oleh
Bukhari dan Muslim. Hakim juga tidak
mengetahui cacat pada hadits tersebut.
Ibnu Qayyim mengomentari masalah ini
dengan mengatakan bahwa Abdurrahman bin
Abi Hatim (Abdurrahman bin Abu Hatim
adalah seorang penghafal besar yang menjadi
anak dari seorang penghafal besar pula. Ia
memiliki buku Al-Jahr wa At-Ta’dil yang
termasuk dalam kategori buku paling agung
yang dikarang dalam bidangnya. Ia juga
memiliki buku Al-’Ilal dan karyanya yang lain.
Abdurrahman seorang ahli ibadah, zuhud, dan
sekaligus wara’. Ia meniggal pada tahun 327
H. Lihat Al-Bidayah, 6/246) telah berkata,
“Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang
hadits tersebut. Ayahku menjawab, ‘Hadist
tersebut mungkar.’ Alasan ayahku menganggap
mungkar mungkin karena dalam
periwayatannya terdapat al-’Ala’ bin Ismail al-
Aththar, dari Hafsh bin Ghiyats. Padahal
al-’Ala’ termasuk orang yang tidak jelas dan
tidak pernah disebut-sebut dalam kutub as-
Sittah. Itulah hadits-hadits yang marfu’ dari
dua sisi sebagaimana yang Anda lihat.
Adapun beberapa atsar yang dipegang para
sahabat adalah yang berasal dari periwayatan
Umar ibnul-Khattab bahwa ia meletakkan
kedua lututnya sebelum meletakkan kedua
tangannya. (Hadits ini dikeluarkan oleh
Abdurrazaq, 295, dari jalan periwayatan an-
Nakh’i dari Umar. Hadits ini adalah
munqathi’)
Hadits senada pernah disebutkan oleh
Abdurrazaq dan Ibnul Mundzir ( Ibnu al-
Mundzir adalah seorang imam, seorang hafizh,
seorang yang pandai, Syaikh al-Islam, Abu
Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir
an-Naisaburi, seorang ahli fikih, penyusun Al-
Ijma’ dan lainnya. Ia termasuk pengikut
madzhab asy-Syafi’i dan meninggal dunia pada
309 H. Lihat As-Siyar, 14/490) serta yang
lainnya, dengan melalui jalan periwayatan Ibnu
Mas’ud r.a.
Hadits tersebut juga pernah disebutkan oleh
ath-Thahawi, dari Fahd, dari Umar bin Hafsh,
dari ayahnya, dari Ibrahim, dari beberapa
teman Alqamah dan al-Aswad, keduanya
berkata, “Kami ingat shalat yang pernah
dilakukan oleh Umar, bahwa Umar setelah
ruku pernah menurunkan kedua lututnya
terlebih dahulu sebagaimana unta yang hendak
turun setelah berdiri. Umar meletakkan kedua
lututnya, sebelum meletakkan kedua
tangannya.”
Kemudian ath-Thahawi juga menuturkan
hadits dari jalan periwayatan al-Hajj bin
Arthah, ia mengatakan bahwa Ibrahim an-
Nakh’i (Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin
Yazid bin Qais bin al-Aswad an-Nakh’i, ayah
Imran. Ia seorang ahli fikih dan pernah
bertemu dengan Aisyah r.a. Ibrahim termasuk
seorang mufti di daerah Kufah. Ia meninggal
duni pada 96 H. dalam usia 49 tahun, namun
ada pendapat yang mengatakan lain. Lihat At-
Tahdzib, 1/92) pernah berkata, “Yang perlu
dicatat dari Abdullah bin Mas’ud, bahwa kedua
lututnya jatuh ke tanah terlebih dahulu
sebelum kedua tangannya.”
Ath-Thahawi juga menuturkan dari Abu
Marzuq, dari Wahb, dari Syu’bah, dari al-
Mughirah, ia berkata, “Aku pernah bertanya
kepada Ibrahim tentang seseorang yang
memulai sujudnya dengan meletakkan kedua
tangan lebih dahulu sebelum meletakkan kedua
lututnya.Ath-Thahawi juga menuturkan dari Abu
Marzuq, dari Wahb, dari Syu’bah, dari al-
Mughirah, ia berkata, “Aku pernah bertanya
kepada Ibrahim tentang seseorang yang
memulai sujudnya dengan meletakkan kedua
tangan lebih dahulu sebelum meletakkan kedua
lututnya. Al-Mughirah menjawab, ‘Tidak ada
yang berbuat seperti itu kecuali orang yang
bodoh dan orang gila.”
Ibnul Mundzir berkata, “Dalam masalah sujud
ini, para ulama masih berselisih pendapat.
Yang termasuk berpendapat harus meletakkan
kedua lutut lebih dulu sebelum kedua tangan
adalah Umar ibnul-Khaththab.”
Pendapat ini diikuti oleh:
- an-Nakha’i
- Muslim bin Yasar (Muslim bin Yasar adalah
penduduk Madinah, hidup pada masa dinasti
Umayyah, dan kemudian menjadi penduduk
Mekah. Ia ayah Abdullah. Muslim adalah
seorang ahli fikih, seorang tabi’in yang
terpercaya. Ia seorang ahli ibadah yang wara’.
Muslim tercatat sebagai ulama ahli fikih yang
ke-5 di antara 5 ulama fikih yang ada di
Bashrah. Lihat At-Tahdzib, 4/74)
- ats-Tsauri (Nama lengkapnya adalah Sufyan
ats-Tsauri bin Sa’id bin Masruq ats-Tsauri.
Seorang amirul mukminin dalam bidang
hadits. Pengakuan itu tidak hanya diucapkan
oleh satu ulama saja. Ia termasuk salah satu
ulama Islam yang patut dijadikan teladan. Ats-
Tsauri adalah seorang yang ahli fikih. Ia
meninggal pada 161 H. Lihat Al-Bidayah,
5/634)
- Asy-Syafi’i
- Ahmad
- Ishaq (Namanya adalah Ishaq bin
Rahawaih, seorang imam besar dan syekh
daerah Masyriq. Tuan para hafizh. Abu
Ya’qub. Ia dilahirkan pada 161 H. Ibnu
Rahwaih menyusun buku al-Musnad. Ia juga
seorang imam dalam bidang tafsir dan
sekaligus termasuk salah satu ulama
mujtahid)
- Abu Hanifah beserta para pengikutnya
- dan Ahli Kufah
Ada pula yang berpendapat sebaliknya, yaitu
meletakkan kedua tangan terlebih dulu sebelum
meletakkan kedua lutut. Pendapat ini didukung
oleh Imam Malik.
Al-Auza’i mengatakan, “Kami pernah
menemukan orang-orang yang sedang shalat,
kemudian mereka meletakkan kedua tangan
sebelum kedua lutut.” Ibnu Abu Daud berkata,
“Pendapat yang mengatakan meletakkan kedua
tangan terlebih dahulu sebelum meletakkan
kedua lutut adalah pendapat ulama ahli
hadits.”
Ibnu Qayyim menerangkan bahwa terdapat
hadits dari Abu Hurairah yang dituturkan oleh
Baihaqi dengan memakai redaksi lain yaitu,
“Apabila salah seorang dari kalian hendak
sujud, maka janganlah mendekam sebagaimana
mendekamnya unta, tetapi hendaklah ia
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya.” ( Hadits ini diriwayatkan oleh
Baihaqi, 2/100)
Baihaqi mengatakan, “Apabila memang hadits
ini dapat dipegang, maka akan menjadi dalil
bahwa Rasulullah ketika hendak sujud, beliau
meletakkan kedua tangannya sebelum kedua
lututnya.”
Dengan demikian, hadits Wail bin Hajar adalah
lebih utama dari hadits Abu Hurairah karena
beberapa hal:
1. Hadits Wail adalah lebih mantap daripada
hadits Abu Hurairah, sebagaimana dikatakan
al-Khithabi dan lainnya.
2. Hadits yang berasal dari Abu Hurairah
statusnya mudhtharib (membingungkan)
dalam matannya, sebagaimana telah kami
terangkan sebelumnya. Di antara ulama yang
mengikuti hadits tersebut ada yang
mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan kedua
tangannya sebelum kedua lututnya.” ada pula
yang mengatakan sebaliknya. Ada ulama lagi
yang mengatakan, “Dan hendaklah meletakkan
kedua tangannya di atas kedua lututnya.”
danada pula yang membuang kata-kata
tersebut.
3. Seperti diterangkan sebelumnya, Bukhari
dan ad-Daruquthni serta lainnya telah mencela
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah itu.
4. Tapi meskipun hadits dari Wail bin Hajar
itu lebih mantap, masih aja ada sekelompok
ulama yang mengkritiknya, dengan menganggap
hadits tersebut telah diubah dari aslinya.
Ibnul Mundzir berkata, “Sebagian ulama
menyangka bahwa ada perubahan redaksi dari
yang sebetulnya, yaitu meletakkan kedua
tangan sebelum kedua lutut.” Lihat penjelasan
yang telah lalu.
5. Hadits Wail sudah sesuai dengan larangan
Nabi ketika sujud, agar kita tidak meniru
gerakan mendekamnya unta. Ini berbeda
dengan hadits Abu Hurairah.
6. Hadits Wail sudah sesuai dengan
penjelasan dari para sahabat, seperti Umar
ibnul-Khaththab, Ibnu Umar, serta Abdullah
bin Mas’ud. Sedang untuk hadits Abu
Hurairah belum pernah ada penjelasan dari
sahabat kecuali Umar r.a.
7. Hadist dari Wail telah diperkuat oleh hadits
dari Ibnu Umar dan Anas, sebagaimana
keterangan yang telah lalu, sedangkan hadits
Abu Hurairah tidak ada yang memperkuat.
Andaikata kedua hadits tersebut seimbang,
maka hadits dari Wail lah yang akan
didahulukan sebab lebih banyak diperkuat oleh
hadits lain.
8. Kebanyakan umat Islam memilih hadits
dari Wail, sedang pendapat yang lain hanya
mengacu pada pendapat al-Auza’i dan Malik.
Adapun mengenai perkataan Ibnu Abu Daud
bahwa pendapat yang mengatakan meletakkan
kedua tangan terlebih dahulu sebelum kedua
lututnya merupakan pendapat ulama ahli hadis,
maksudnya adalah sebagian ahli hadits, kecuali
Ahmad, asy-Syafi’i, dan Ishaq.
9. Dalam hadits yang bersumber dari Wail
terdapat kisah yang menceritakan perbuatan
Nabi saw. Maka itu lebih utama untuk
diperhatikan.
10. Semua perbuatan yang diceritakan dalah
hadits Wail adalah shahih, dibanding riwayat
yang lain. Memang perbuatan tersebut sudah
terkenal. Inilah salah satu riwayat yang
shahih dan memiliki hukum tersendiri, serta
tidak ada riwayat lain yang bisa
menandinginya. Oleh sebab itu, hadits Wail
dianggap kuat. Wallahu a’lam.
————————————————-
II. Al Jauziyah, Ibnu Qayyim. Kitabush-
shalah wa hukmu tarikiha (Terjamah: Rahasia
dibalik Shalat). Penerjemah, Amir Hamzah
Fachrudin, Kamaluddin Sa’diatulharamaini.
Hal 213 – 216. Cetakan kesembilan. Jakarta:
Pusaka Azzam, Agustus 2005.
Cara Turun Rasulullah ketika Melakukan
Sujud
Ketika mau melakukan sujud, beliau membaca
takbir “Allahu Akbar” dan merunduk untuk
melakukan sujud, beliau tidak mengangkat
tangannya dan meletakkan kedua lututnya
sebelum kedua tangannya, sesuai dengan yang
dikatakan Wail bin Hajar ( Abu Daud, shalat,
838, Nasai, kitab ‘At-Tatbiq”, 2/206-207,
At-Turmudzi, “Al-Shalat”, 268, beliau
menganggap hadits tersebut hasan gharib, dan
Ibnu Majjah, “Al-Iqamah”, 882) dan Anas bin
Malik (Ad-Daruquthni, 1/345, Al-Hakim,
1/226, dan beliau menganggap shahih hadits
tersebut). Tetapi Ibnu Umar berkata bahwa:
“Sesungguhnya Rasulullah SAW dalam
melakukan sujudnya itu beliau meletakkan
kedua tangannya terlebih dahulu, baru kedua
lututnya.” (Ibnu Khuzaimah, 627, Al-Hakim,
2/226 dan beliau mensahihkan hadits
tersebut)
Dan berbeda pula dengan hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah, dalam
beberapa hadits dari Nabi SAW dikatakan
bahwa, “Apabila salah seorang kamu
melakukan sujud, janganlah kamu berlutut
seperti unta, letakkanlah kedua tangan terlebih
dahulu, sebelum kedua lututnya.” (Al-Musnad,
2/381, Abu Daud, “Al-Shalat”, 840, An-
Nasai, kitab “At-Tatbiq”, 2/207, At-
Turmudzi, “Al-Shalat”, 269 dan beliau
menganggap gharib (asing) hadits tersebut).
Diriwayatkan dari Al-Maqbari bahwa, “Apabila
salah seorang di antara kamu melakukan sujud,
hendaknya dimulai dengan meletakkan kedua
lututnya sebelum kedua tangannya.”
————————————————
III. Terjemah buku Shahih Shifat an-Nabi,
Judul Bahasa Indonesia: Shalat Seperti Nabi
Saw, Karya Hasan bin ‘Ali as-Saqqaf,
Cetakan III, Rabi al-Awwal/April 2006, Hal.
170 – 173, Pustaka Hidayah, Bandung
Hal yang disunnahkan adalah turun untuk
sujud dengan mendahulukan lutut, bukannya
mendahulukan tangan. Hal ini didasarkan pada
hadist dari Wa’il ibn Hujr radhiallahu ‘anhu.
Ia berkata,”Aku melihat Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa salam ketika hendak sujud
meletakkan lututnya sebelum tangannya.” (HR
Abu Dawud I:222, HR. At Turmudzi II: 56,
HR. Ibn Majah I:286, Ibn Khuzaimah dalam
Shahihnya ( I:318 ) dan Ibnu Hibban dalam
Shahihnya)
(Untuk HR Abu Dawud jika mencari di buku
Shahih Sunan Abu Dawud oleh Nasruddin Al
Bani maka hadist 839 itu tidak akan
ditemukan. Setelah hadist ke 836 langsung
lompat ke hadist 840 dan 841. Berarti hadist
ke 839 ini didhoifkan oleh Nasruddin Al Bani -
red)
Hadist tersebut Shahih. Akan tetapi ada
sebagian orang yang berusaha melemahkan
(mendhoifkan) hadist tersebut karena (di
sanadnya -red) ada Syarik, meskipun usaha
itu gagal. Sesungguhnya, orang yang
meriwayatkan dari Syarik dalam hadist ini
adalah Yazid bin Harun. Ia termasuk yang
meriwayatkan dari Syarik seblum Syarik
berubah dan mengurus al-qadhaa (pengadilan
atau menjadi hakim)
Al Hafidz Ibn Hibban dalam Ats-Tsiqaat
(VI:444) , mengatakan, “Syarik pada masa
tuanya melakukan kesalahan terhadap apa yang
diriwayatkan. Daya hafalnya berubah. Orang
terdahulu yang mendengar darinya adalah
orang-orang yang mendengar lewat perantara
(waasith) dan tidak mengandung takhlith
(kekacauan). Mereka mendengar dari Syarikh
lewat penengah itu, seperti Yazid bin Harun,
Ishaq al Arzaq. Sementara mendengarakan
hadist yang dilakukan orang-orang kemudian
dari Syarik di Kufah itu elah mengandung
banyak wahm (kebimbangan atau keraguan,
kekacauan).” Demikian menurut Ibn Hibban.
Menurut pengarang (buku Sholat seperti Nabi
saw yaitu Hasyim bin Ali as Saqqaf):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar