Rabu, 24 Juli 2013

MAKNA KULLU BIDHATIN(kajian ilmiah Syekh Ansoori Dahlan)Bag II

Bid`ah yang sunnah, diantara contohnya:
Mendirikan ribath (majlis zikir), madrasah-
madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada di
masa awal islam, seperti; pelaksanaan tarawih,
pembahasan masalah-masalah secara detail ilmu
tasawwuf dan ilmu jadal. Diantaranya juga
adalah mengumpulkan orang banyak untuk
menunjukkan dalil-dalil dari syariat -apabila
dimaksudkan hal tersebut murni karena Allah
Swt-.
Bid`ah yang makruh, diantara contohnya:
menghiasi masjid dan mendekorasi mushaf, dll.
Bid`ah yang mubah, diantara contohnya:
Bersalaman setiap selesai shalat subuh dan
ashar, berkreasi dalam membuat citarasa
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan
memakai thayalishah (peci) serta melebarkan
lengan baju.
Memang terjadi perbedaan pendapat pada
sebagian itu, sehingganya oleh ulama
dimasukkan kedalam kategori bid`ah yang
makruh. Sementara sebagian lain menjadikannya
sebagai sunnah yang telah dikerjakan di masa
rasul Saw dan setelah beliau, seperti;
berta`awudz di dalam shalat dan
basmalah….selesai ucapan Imam Abu
Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam.
Penamaan bid`ah hasanah dengan maslahah.
Diketahui dari pemaparan sebelumnya, bahwa
ulama telah sepakat atas pembagain bid`ah
kepada bid`ah mahmudah (terpuji) dan bid`ah
mazmumah (tercela). Sedangkan Sayyidina
Umar Ra. merupakan orang pertama yang
mengucapkannya. Mereka juga sepakat bahwa
sabda Nabi Saw. ”setiap bid`ah adalah sesat”,
bersifat umum yang dikhususkan.
Tidak ada yang berbeda dari kesepakatan ulama
ini, kecuali Imam Syathibiy, pengarang kitab al
I`tisham. Beliau mengingkari pembagian seperti
ini dan menganggap bahwa ”setiap bid`ah adalah
mazmumah”. Akan tetapi ia mengakui
bahwasanya diantara bid`ah ada yang dituntut
untuk melaksanakannya dalam bentuk wajib atau
sunnah. Beliau kemudian menjadikannya ke
dalam kategori maslahah mursalah. Maka
perbedaan yang terjadi hanya secara lafzhiy
(bahasa) yang dilihat dari sisi pembagian, yaitu
bid`ah yang dituntut melaksanakannya tidak
dinamakan dengan bid`ah hasanah, akan tetapi
dinamakan dengan maslahah.
Bid`ah tidak dilihat dari bahasanya akan tetapi
dari unsur pelanggarannya terhadap syariat.
Imam Syafi`i mengatakan:
Seluruh yang ada sandarannya secara syar`i,
maka bukanlah bid`ah, meskipun tidak dilakukan
oleh ulama salaf, karena mereka meninggalkan
beramal boleh jadi karena `uzur yang ada pada
mereka pada saat itu. Atau juga karena ada hal-
hal yang dirasa lebih afdhal daripada
melakukannya. Atau boleh jadi belum sampai
ilmu kepada mereka… selesai ucapan Imam
Syafi`i
Kata Imam Ibn Al Lubb ketika membantah
orang-orang yang menyatakan bahwa makruh
berdo`a setelah shalat Ashar:
Paling banter yang diajukan oleh orang-orang
yang menyatakan makruh berdo`a setelah shalat
adalah “komitmen mereka dengan do`a seperti ini
bukanlah merupakan perbuatan ulama salaf”.
Dengan asumsi bahwa sahnya qaul ini, maka
meninggalkan sesuatu, tidaklah menyebabkan
hukum pada masalah yang ditinggalkan, kecuali
menunjukkan bolehnya meninggalkan dan tidak
ada halangan dalam melaksanakannya. Adapun
pengharaman, atau terjadinya makruh pada apa
yang ditinggalkan, maka tidaklah demikian.
Terlebih lagi terhadap masalah-masalah yang
ada dasarnya secara global dari syar`i, seperti:
berdo`a.
Berkata Ibnu Al `Araby:
Bukanlah bid`ah dan sesuatu yang baru menjadi
tercela, karena adalanya kalimat “muhdatsah
(baru)”, kalimat “bid`ah” dan makna dari dua
kalimat tersebut. Adapun yang dicela dari
bid`ah, adalah apa saja yang bertentangan
dengan sunnah. Sedangkan yang dicela dari
muhdatsah (perkara-perkara yang baru) adalah
semua yang menyebabkan kepada dhalalah
(kesesatan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar