Rabu, 24 Juli 2013

TANYA JAWAB HUKUM BIDHAH(kajian ilmiah Syekh Ansoori Dahlan ponpes Sidogiri)Bag I

MEMAHAMI KALIMAT: “KULLU BIDH’ATIN
DHOLALAH; SETIAP BID’AH ADALAH
SESAT”.
Sesungguhnya Rosululloh Shollallohu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Hendaklah
kalian berpegang teguh pada sunnahku
dan sunnah para Khulafaur Rosyidin.
Gigitlah sunnah itu dengan geraham
kalian (yakni; peganglah jangan sampai terlepas)
. Dan berhati-hatilah terhadap PERKARA
YANG BARU,
maka sesungguhnya setiap perkara
baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah
adalah sesat.”
Tanya:
Bagaimana ulama wahaby memahami bid'ah??
Jawab:
Syaikh Sholeh Al-Utsaimin dalam
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal:
639-640). Al-Utsaimin mengatakan, “Hukum
asal dari perbuatan-perbuatan
baru dalam urusan dunia adalah
HALAL. Jadi bid’ah dalam urusan-
urusan dunia itu HALAL, kecuali ada
dalil yang menunjukan akan
keharamannya.
Tetapi hukum asal dari perbuatan-perbuatan
baru dalam
urusan agama adalah DILARANG, jadi
bid’ah dalam urusan-urusan agama
adalah HARAM dan BID’AH, kecuali adal
dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah
yang menunjukkan keberlakuannya.”
Akan tetapi,melalui tulisannya yang lain Al-
Utsaimin telah melanggar hukum yang
dibuatnya sendiri dalam Al-Ibda’ fi
Kamal Al-Syar’i wa Khathar Al-Ibtida’,
hal 13. Dia mengatakan tentang hadits Nabi,
”(Semua bid’ah adalah sesat)
adalah bersifat general, umum,
menyeluruh (tanpa terkecuali) dan
dipagari dengan kata yang menunjuk
pada arti menyeluruh dan umum yang
paling kuat yaitu kata-kata “kullu (seluruh)”.
Apakah setelah ketetapan
menyeluruh ini kita dibenarkan
membagi bid’ah menjadi tiga bagian,
atau menjadi lima bagian?
Selamanya
ini tidak akan pernah benar.”
Dalam pernyataannya diatas Al-
Utsaimin menegaskan bahwa “SEMUA
BID’AH adalah SESAT”, bersifat
general, umum, dan menyeluruh
terhadap seluruh bid’ah, tanpa
terkecuali, sehingga tidak ada bid’ah yang
disebut BID’AH HASANAH.
Yang jadi pertanyaan,mengapa dalam
pernyataannya
yang pertama dia membagi bid’ah ada
yang HALAL dan yang HARAM, juga
ada bid’ah Dunia dan Bid’ah Agama,
bukankah kullu di situ dikatakannya sebagai
general (umum)? Sangat
LUCU dan KONTRADIKTTIF,
Mengapa banyak orang yang tidak mampu
melihat ironisme definisi bid'ah menurut
pentolan wahaby
ini?
Tanya:
Bagaimana definisi bid'ah menurut
Ahlussunnah waljama'ah:
Jawab:
1. Bid’ah Syar’iyyah, yaitu tiap-tiap
ucapan,perbuatan atau i’tiqad yang
bertentangan dengan Alkitab (Al-
Qur’an), Assunnah (hadist Nabi
saw),Alijma’ Alqiyas
2. Bid’ah Lughawiyyah, yaitu segala sesuatu
yang di ciptakan / belum
terjadi di jaman Rasulullah
Tanya :
Betulkah semua bid’ah itu
sesat? Dan bagaimana menurut faham
Ahlu sunnah waljama’ah?
Jawab :
Menurut faham Ahlu sunnah waljama’ah itu
bid’ah ada dua macam, yaitu :
a. Bid’ah hasanah (Bid’ah yang baik / bagus)
Sebagaimana yang terjadi di jaman Kholifah
Umar Bin Khoththob “tarowih” para sahabat
Nabi di masjid Nabawiy (Madinah) yang di
lakukan terus menerus dengan berjamaah”.
Dalam menanggapi masalah ini Kholifah Umar
Bin Khoththob berkata :
Yang artinya . “Sebaik baik bid’ah adalah ini
( yakni
sholat tarowih yang di kerjakan dengan
berjamaah berturu-turut )”
Jadi istilah Bid’ah hasanah ini di ambil dari
sabda kholifah Umar tersebut di atas. Tak
seorang sahabatpun yang menentang/
menyalahkan sabda Kholifah Umar ini.Tegasnya
semua berij’ma atas kebenaranya. Jadi
landasan/sumber istilah” Bid’ah
hasanah”tersebut adalah hasil mufakat (ijma’)
para sahabat dari sunnah qouliyah Nabi yang
artinya Hendaknya kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah khulafaur
rasyidin sesudahku………
Yang artinya . Ikutilah orang-orang
sesudahku,Abu
Bakar dan Umar
Tanya :
Mengapa Kholifah Umar maupun Ulama Ahli
sunnah waljama’ah mengatakan bid’ah hasanah?
Jawab :
Ya,sebab arti bid’ah secara lughawi yaitu segala
sesuatu yang belum pernah terjadi di zaman
rasulullah saw. Dan di hukumi hasanah / bagus
menurut syara’,karena perbuatan itu menurut
dalil-dalil umum syara’ bisa di landasi
kebenaranya.
Tanya :
Sekarang Kita teruskan tentang apa bid’ah
Sayyiah itu? Jawab : Bid’ah Sayyiah (Bid’ah
yang buruk)
Istilah ini sumbernya adalah Hadist Yang
artinya Berhati – hatilah kalian /kalian jangan
mengada- adakan ciptakan baru
sesungguhnya sebagian bid’ah (ciptaan
baru) itu kesesatan.” Dari ummil mu’minin /
Ummi
abdillah /’aisyah ra.beliau berkata :
Sabda Rasulullah saw Yang artinya “Barang
siapa mengada-adakan hal
baru dalam agama yang bukan dari
agama kami,maka hal itu di tolak
(bathil)”
Jadi seumpama kita mengerjakan sholat subuh
empat rakaat atau salat jenazah dengan rukuk
dan sujud atau mengerjakan Jum’ah sebelum
khotbah,atau sholat ‘id(hari raya) dengan
mendahulukan khutbah dll.itu memang di
tolak,sebab yang demikian itu memang tidak ada
sumbernya dari agama.
Adapun yang ada sumbernya dari
agama seperti tarowih 20 rokaat
adzan jum’ah dua kali dll,tidaklah
termasuk yang di tolak.
Tanya :
Sebagian golongan ada yang mengatakan bahwa
segala sesuatu yang belum pernah terjadi pada
zaman Nabi saw, itu di hukumi bid’ah.Betulkah
itu?
Jawab :
Memang menurut istilah Lughowinya betul
pendapat ini. Tetapi bid’ah yang ini terbagi
menjadi lima macam :
a. Bid’ah wajibah ‘alal kifayah
Misalnya mempelajari ilmu – ilmu bahasa arab
sebagai memahami Al- Qur’an dan Alhadist
b. Bid’ah muharromah
Misalnya seperti i’tiqad dan hal ihwal Ahli
bid’ah yang bertentangan dengan tariqat Ahli
sunnah wal jama’ah.
c. Bid’ah mandubah
Yaitu seperti perbuatan-perbuatan yang baik
yang tidak terjadi pada zaman Rasulullah
saw.seperti mendirikan madrasah- madrasah
untuk memudahkan cara- cara memberikan
pelajaran agama para murid.
d. Bid’ah Makruhah
Misalnya seperti menghias masjid dengan
hiasan berlebih-lebihan.
e. Bid’ah Mustahabaah
Seperti bermewah-mewahan dalam makan dan
minum.
Tanya:
Dalam surat
al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu
agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-
Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Bukankah ayat di atas menegaskan bahwa Islam
telah sempurna. Dengan demikian, orang yang
melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi
bahwa Islam belum sempurna,sehingga masih
perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
Jawab:
“Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang disebutkan
tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena
yang dimaksud dengan penyempurnaan
agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan
oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah
subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan
kaedah-kaedah agama.
Seandainya yang dimaksud dengan ayat
tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah,
tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah
shallallahu alaihi wa sallam tidak akan
melakukan bid’ah hasanah.
Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an,
Sayyidina Umar menginstruksikan shalat
tarawih
secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman
menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta
beragam bid’ah hasanah lainnya yang
diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal
ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang
menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan
ayat 3 surat al-Maidah tadi.
Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada
kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah
hasanah masuk dalam kesempurnaan
agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam
sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa
sallam dan perilaku para sahabat.”
Tanya:
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.Karena hadits
tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah
redaksinya berbunyi,man sanna fil Islaam
sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut
mempunyai latar belakang, yaitu anjuran
sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi
hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah
tidak proporsional.”
Jawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-
Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan
teliti.
Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud
dengan sunnah dalam teks hadits tersebut
adalah sunnah secara lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-
thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira
mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik
perbuatan yang diridhai atau pun tidak).
Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa
dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu
hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu
alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir
(segala sesuatu yang datang dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa
ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi
terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.
Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin
Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam
dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian
hadits
tersebut akan menjadi kabur dan rancu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar