Rabu, 24 Juli 2013

MAKNA KULLU BIDHATIN(kajian ilmiah Syekh Ansoori Dahlan ponpes Sidogori)

Syarah Hadits “Kullu bid’atin dlalalah”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab
sahihnya,
Dari Jabir bin Abdullah Ra, dari Nabi Saw..
Beliau berkata dalam khutbahnya:
”Sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah
kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad Saw, dan seburuk-buruk
perkara adalah perkara-perkara yang baru, dan
setiap bid`ah adalah sesat.
Imam Nawawi menjelaskan/mensyarah bahwa
kalimat ”kull”yang ada pada redaksi hadits
tidaklah menjadikan seluruh bid`ah sesat, akan
tetapi maknanya kebanyakan bid`ah adalah
sesat. Imam Nawawi juga memaparkan
perkataan ulama yang membagi bid`ah sama
dengan hukum taklify yang 5; wajib, sunnah,
mubah, makruh dan haram.
Imam Nawawi mengomentari hadits ini:
“Sabda Nabi Saw “dan setiap bid`ah adalah
sesat” ini, merupakan bentuk umum yang
dikhususkan. Dan yang dimaksudkan di dalam
hadits adalah mayoritas (kebanyakan) dari
bid`ah. Menurut para ahli bahasa: bid`ah
dimaksudkan untuk setiap amalan yang
dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Para
ulama mengatakan: bid`ah itu terbagi kepada 5
macam;
1. Wajib,
2. Sunnah,
3. Haram,
4. Makruh dan
5. Mubah.
Diantara contoh bid`ah yang wajib: Upaya
pengonsepan dalil logika, yang dilakukan oleh
para ulama ahli kalam, untuk membantah para
atheis, ahli bid`ah, dan orang-orang yang setipe
dengan mereka.
Diantara contoh bid`ah yang sunnah: Menulis
kitab-kitab ilmiah, membangun madrasah-
madrasah, membuat majlis zikir, dan hal-hal
seperti itu.
Diantara contoh bid`ah yang mubah: Berkreasi
dalam mengolah warna makanan dan yang
sejenis itu.
Sementara bid`ah yang haram dan yang makruh
sudah jelas.
Apabila dipahami apa yang aku sebutkan, maka
akan diketahui bahwa hadits ini adalah hadits
umum yang dikhususkan. Beghitu juga dengan
hadits-hadits yang semisal dengan yang
diriwayatkan ini. Hadits-hadits seperti ini
dikuatkan oleh perkataan Sayyidina Umar:
“ni`mat al bid`ah”, sebaik-baiknya bid`ah adalah
ini. Dan tidak ada halangan bentuk hadits umum
yang bisa dikhususkan karena Sabda Rasul
saw: ﻛﻞ ﺑﺪﻋﺔ ﺿﻼﻟﺔ ” setiap bid`ah adalah sesat”
yang dikuatkan dengan kalimat ﻛﻞ
“kull” (seluruh). Akan tetapi (kull ini) dimasuki
oleh takhshish. Seperti firman Allah:”Yang
menghancurkan segala sesuatu dengan perintah
Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang
kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat
tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi
balasan kepada kaum yang berdosa.(QS: Al
Ahqaaf: 25)”"… selesai ucapan imam Nawawi.
Pada hadits `Irbadh bin Saariyah, sabda Rasul
saw:
“Dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara
yang baru, karena setiap bid`ah adalah sesat.”
Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tumudzi
dan Ibnu majah, disahihkan oleh Turmudzi,
Ibnu Hibban dan Hakim.
Al Hafiz Ibnu Rajab di dalam syarah
(penjelasan)nya, mengomentari:
“Dan yang dimaksud dengan bid`ah adalah:
semua hal baru yang dilakukan tanpa ada dasar
dari syariat yang menunjukkan boleh
melakukannya. Dan apapun yang ada asal dari
syariat yang menunjukkannya, maka bukanlah
bid`ah secara syariat, meskipun bid`ah secara
bahasa.” … selesai ucapan Al hafiz Ibnu Rajab.
Pada hadits sahih Bukhari yang diriwayatkan
dari Ibnu Mas`ud, beliau berkata:
Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapaan adalah
kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah
petunjuk Muhammad saw. dan seburuk-buruk
perkara dalah semua yang baru.
Al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) mengomentari:
” ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﺎﺕ (almuhdasaat) bentuk plural dari
kalimat ﺍﻟﻤﺤﺪﺛﺔ (almuhdatsah), dan yang
dimaksudkan dengannya adalah: apa-apa yang
baru dan tidak memiliki dasar di dalam syariat.
Di dalam terma syariat kemudian dikenal dengan
nama bid`ah. Dan ada pun semua yang memiliki
dasar dari syariat yang menunjukkanya, maka
bukanlah bid`ah. Maka bid`ah dalam terma
agama adalah mazmumah (tercela), beda halnya
dengan bid`ah menurut konsep bahasa. Maka,
semua yang terjadi tanpa ada misal sebelumnya
dinamakan bid`ah, baik itu mahmudah (terpuji)
atapun mazmumah (tercela)… selesai ucapan Al
hafiz Ibnu Hajar.
Al Hafiz `Abdullah Shiddiq Ghumary
mengomentari:
Apa-apa yang baru dan ada dasarnya dari
syariat yang menunjukkanya, maka itu
dinamakan dengan bid`ah hasanah (terpuji),
beghitu juga yang dinamakan oleh Nabi Saw.
Dan kebalikannya dinamakan dengan bid`ah,
sebagaimana juga dinamakan dengan bid`ah
sayyi-ah (tercela).
Diriwayatkan oleh Abu Na`im dari Ibrahiim Bin
Junaid, dia berkata:
saya mendengar Syafi`i berkata: Bid`ah itu ada
dua, bid`ah mahmudah (terpuji) dan bid`ah
mazmumah (tercela). Apapun yang
berkesesuaian dengan sunnah, maka ia itu
adalah terpuji, dan apa-apa yang bertentangan
dengan sunnah, maka ia adalah tercela.
Diriwayatkan oleh imam Baihaqi di dalam
Manaqib Imam Syafi`i, diriwayatkan darinya.
Ia ( Imam Syafi`i) berkata: hal-hal yang baru
itu ada dua kategori: Apapun hal-hal baru yang
bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar atau
ijma`, maka ini adalah bid`ah yang sesat
(dholal). Dan hal-hal baru yang masuk dalam
kategori kebaikan, maka tidak ada khilaf pada
masalah tersebut seorangpun dalam masalah
ini. Maka ini perkara baru yang tidak tercela dan
Sayyidina Umar benar-benar telah berkata ketika
mengomentari masalah Qiyaam Ramadhan ”
sebaik-baiknya bid`ah adalah ini” maksudnya
adalah, ini perkara baru yang belum pernah
terjadi. Seandaipun terjadi, maka ia tidak
bertentangan terhadap apa yang telah pernah
terjadi.”
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) di
dalam kitab Fath Al Bari,
Adapun Sabda Rasul di dalam hadits Irbadh
“maka sesungguhnya setiap bid`ah adalah
sesat”, setelah sabdanya: dan hendaklah kalian
untuk menjauhi hal-hal yang baru”, maka ini
menunjukkan bahwa segala yang baru
dinamakan bid`ah. dan sabdanya, “setiap bid`ah
adalah sesat”, merupakan kaidah syar`iyah yang
bersifat kulliyah (menyeluruh) secara tersurat
(manthuq) dan secara eksplisit (mafhumnya).
Adapun secara tersurat, seperti pernyataan:
Hukum masalah ini adalah bid`ah (premis
minor)
Setiap bid`ah adalah sesat (premis mayor)
Maka masalah tersebut bukanlah dari syar`i,
karena syariat seluruhnya adalah petunjuk
(huda).
Apabila ditetapkan bahwa hukum yang
disebutkan adalah bid`ah, maka sah kedua
muqaddimah (premis). Dan kedua premis
menghasilkan Natijah (result) yang diinginkan.
Sedangkan yang dimaksud dengan sabda beliau:
“Setiap bid`ah”, adalah apa-apa yang baru dan
tidak ada dalil baginya dari syariat, baik secara
khusus maupun secara umum”… selesai ucapan
Al Hafidz Ibnu Hajar.
Berkata Imam Nawawi di dalam kitab Tahzib Al
Asmaa` Wa Al Lughat:
Bid`ah di dalam syariat adalah mengadakan
sesuatu yang tidak ada di masa Rasul saw. dan
bid`ah terbagi kepada dua; hasanah (baik) dan
qabihah (tercela).
Dari komentar para Huffaz diatas dipahami
rambu-rambu dalam menilai sebuah perbuatan
adalah bid`ah atau tidak. Bid`ah ternyata tidak
dipahami dengan sempit, akan tetapi beghitu
lapang!
Pembagian bid`ah kepada hukum taklify yang
lima.
Di awal sudah kita paparkan tentang
pemahaman ulama terhadap hadits yang
menjelaskan bid`ah dan ulama memahaminya
begitu lapang. Jikalau kita telusuri lebih jauh,
ternyata pembagian bid`ah tidak hanya kepada
dua, seperti yang dipaparkan oleh Tuan Syaikh,
seorang imam yang disepakati keimaman,
keagungan, kepakaran dan kedalaman ilmunya di
pelbagai disiplin ilmu,
Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam ra
pada akhir kitab Al Qawaa-Id:
Bid`ah itu terbagi kepada; wajib, haram, sunnah
dan mubah. Beliau kemudian menjelaskan: dan
cara untuk mengetahui bid`ah itu ditinjau dari
kaidah-kaidah syariah, apabila masuk ke dalam
kaidah-kaidah wajib, maka ia menjadi bid`ah
yang wajib. Apabila masuk kedalam kaidah-
kaidah sunnah, maka ia menjadi bid`ah yang
sunnah. Apabila masuk kedalam kaidah-kaidah
makruh, maka ia menjadi bid`ah yang makruh.
Dan apabila masuk kedalam kaidah mubah,
maka ia menjadi bid`ah yang mubah.
Bid`ah yang wajib, diantara contohnya;
Pertama: Sibuk dengan ilmu nahwu yang
dengannya dipahami kalamullah (Al Quran) dan
hadits Rasul saw., maka itu adalah bid`ah yang
wajib. Karena menjaga syariat adalah wajib dan
tidak akan tercapai penjagaannya, kecuali dengan
menyibukkan diri mengkaji ilmu nahwu. Dan apa
saja yang tidak akan terlaksana hal-hal wajib,
kecuali dengannya, maka ia akan menjadi wajib
juga.
Kedua: menghafal gharib (makna yang sulit
dipahami) dari al Qur`an dan sunnah.
Ketiga: membukukan secara sitematis ilmu
ushuluddin dan ushul fiqh.
Keempat: membicarakan masalah jarh dan ta`dil
dan membedakan antara hadits yang sahih dan
yang cacat.
Sesungguh sudah ditunjukkan oleh Kaidah
syariah bahwa menjaga syariah adalah fardhu
kifayah pada hal-hal yang di luar dari kapasitas
fardhu `ain (yang diwajibkan kepada setiap
individu). Maka, tidak akan tercapai (penjagaan
syariah itu), kecuali dengan melakukan hal-hal
yang telah kami sebutkan.
Bid`ah yang diharamkan, diantara contohnya:
Pelbagai bid`ah yang dilakukan oleh mazhab Al
Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Mujassimah.
Sedangkan membantah mereka adalah bid`ah
yang wajib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar