Jumat, 30 Agustus 2013

ILMU KALAM II

Hukum ilmu kalam atau ilmu Tauhid :
Wahhabi / Salafi : Mereka mengharamkan ilmu
kalam secara muthlaq. Mereka berdalih
seandainya ilmu kalam termasuk urusan agama,
sudah pasti hal itu urusan terpenting yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan
mengajarkan metodenya, memuji ilmu kalam dan
memuji orang-orangnya. Tapi Rasul Saw malah
mengajarkan istinja’ dan ilmu fiqih lainnya.
Mereka juga mengambil dalil dari ucapan-ucapan
ulama kita (Ahlus sunnah) sebagai dalil
pengharaman ilmu kalam. Seperti imam Sayafi’I
yang berkata “ Sungguh seorang hamba
berjumpa dengan Allah dengan membawa semua
dosa selain dosa syirik lebih baik daripada
berjumpa dengan Allah dengan membawa ilmu
kalam “. Bahkan imam Syafi’I memerintahkan
untuk memberi sanksi cambuk dan diarak
keliling kampung bagi orang yang mendalami
ilmu kalam dan meninggalkan al-Quran dan
Hadits. Padahal bukan demikian yang dimaksud
oleh imam Styafi’i.
Ibnu Taimiyyah, pendiri wahhhabiyyah
megatakan : “ Sesungguhnya para pengikut
paham Asy'ari dan sebagian orang yang
menganut paham Qadariyyah telah sependapat
dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip
pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun
mereka ini menentangnya secara verbal dan
mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal...
Begitu pula mereka itu berlebihan dalam
menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-
masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah
menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan
mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari
bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada
pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak
atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian
(tindakan-tindakan) .
Ahlus sunnah wal Jama’ah : Hukum ilmu kalam
diperinci. Mengharamkan ilmu kalam secara
muthlaq adalah salah dan membolehkan ilmu
kalam secara muthlaq juga salah.
Hukum ilmu kalam terbagi menjadi empat :
Halal, sunnah, wajib dan haram menurut sikon.
Perkara yang haram terkadang dihukumi haram
karena dzatnya seperti khomer (arak) dan
bangkai. Alasan keharaman karena dzatnya
adanya sifat pada dzatnya yaitu khomer
sifatnya memabukkan dan bangkai sifatnya
mati.
Dan dihukumi haram karena yang lainnya
(bukan dzatnya) seperti makan tanah atau
berwudhu dengan air curian. Tanah hukumnya
halal tp karena membahayakan jika dimakan
maka menjadi haram. Demikian juga air
hukumnya halal tapi karena diperoleh dengan
cara mencuri maka hukumnya haram.
Demikian juga ilmu kalam atau ilmu tauhid
hokum aslinya adalah halal atau ada manfaatnya
yaitu menjaga aqidah dari ajaran-ajaran yag
rancu.
Dan menjadi haram atau ada madhorotnya jika
mendorong pada kesyubhatan dan menggoyahkan
aqidah dari kekokohan dan juga dapat
memperkuat aqidah orang-orang ahli bid’ah di
dalam dada mereka sekiranya ahli bid’ah
semakin terus berkeyakinan pada bid’ahnya akan
tetapi jika ia memiliki sifat fanatisme. Oleh
karena itu kamu melihat ahli bid’ah yang awam
masih bisa lepas dari aqidah bid’ahnya dengan
sikap lembut, kecuali jika ia tumbuh di kalangan
yang suka berdebat dan fanatisme. Karena
seandainya orang-orang dulu dan sekarang jika
bersatu untuk membenarkan aqidahnya, tidak
akan mampu mencabut aqidah bid’ahnya dari
dadanya bahkan hawa nafsu dan fanatisme
serta membenci lawannya akan menguasai
hatinya dan mencegahnya dari mengetahui
kebenaran, sampai-sampaib seandainya
ditanyakan padanya “ Apakah kamu mau Allah
menyingkap kebenaran dan memberitahumu
bahwa kebenaran ada pada lawanmu ? “ maka
niscaya ia akan membenci hal itu karena takut
lawannya menjadi senang sedangkan ia susah
atau malu.
Kesimpulannya adalah : Orang-orang awam
yang sibuk dengan aktifitas kerjanya, wajib
meninggalkan ilmu kalam atas dasar
kesalamatan bagi aqidahnya yang telah ia
pelajari dasar-dasarnya sebagaimana yang telah
tersusun dalam QOWAIDUL AQOOID imam
Ghozali atau AQIDATUL AWAM. Karena
mempelajari ilmu kalam bisa membahayakannya,
sebab terkadang membuatnya ragu dan goyah
aqidahnya maka tidak memunkinkan untuk
meluruskannya stelah itu.
Adapun orang awam yang bid’ah (dholalah)
maka sebaiknya diajak kebenaran dengan sikap
lembut yang berdasarkan dalil al-Quran dan
hadits yang diselai dengan nasehat lembut
karena hal itu lebih berpengaruh dan lebih
bermanfaat ketimbang berdebat.
Adapun jika di daerah itu sedikit adanya bid’ah
maka sebaiknya cukup dengan mengajarkan
aqidah ringkas dasarnya saja seperti
AQOOIDUL AQOOID imam Ghozali. Tidak
harus mnyebutkan dalil-dalilnya jika tidak ada
keraguan, namun jika ada keraguan maka
menyebutkan dalil sekedar butuhnya.
Jika di daerah itu bid’ah sudah mnyebar dan
banyak terjadi (seperti di Indonesia ini yang
banyak ajaran atau tauhid wahhabi menyebar
dikalangan Ahlus sunnah bahkan ada yang
menjadi kurikulum di sekolah-sekolah NU dan
sudah banyak buku-buku gratis ajaran bid’ah
mereka yang dibagi-bagikan saat hendak
berangkat haji atau pulang haji) dan ditakutkan
bagi anak-anak kecil dan awamnya tertipu akan
hal tersebut, maka tidak mengapa mengajarkan
lebih dari dasarnya namun tetap menurut
kadarnya masing-masing seperti kitab ar-
Risalatul Qudsiyyah imam ghozali. Supaya hal
itu menjadi penolak pengaruh ajaran-ajaran ahli
bid’ah.
Allah Swt btelah berfirman “ QUL HAATUU
BURHAANAKUM “ (katakan; tunjukkan
pembuktiannmu)
“ WATILKA HUJJATUNAA AATAINAHA
IBRAHIMA ‘ALA QOUMIH “ (itulah hujjah
kami yang kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghujjah kaumnya)
Para sahabat R.anhum dahulu mendebat orang-
orang yang ingkar dan orang yang pertama kali
mengajak ahli bid’ah dengan perdebatan adalah
imam Ali Ra yang diutus Ibnu Abbas Ra
kepada kaum khowarij untuk mendebat mereka
yang pada akhirnya dua ribu dari kaum khowarij
kembali kepada ajaran imam Ali Ra.
Hasan al-Bashri pun pernah mendebat seorang
dari golongan qodariyyah lalu orang itu kalah
dan bertaubat. Dan masih banyak lagi para
sahabat lainnya.
Adapun larangan imam Syafi'i mempelajari ilmu
kalam adalah karena berakibat menimbulkan
keraguan bagi orang-orang awamnya. Suatu hari
seorang sahabat imam syafi'i yang mengadu
pada imam syafi'i, si fulan memberitahukan aku,
bahwa Allah begini begini, kemudian imam
syafi';i berkata pada shahabatnya, katakanlah
pada si fulan begini begini. dan peristiwa ini
terjadi berulang ulang pada murid imam syafi'i.
oleh karena itu, imam syafi'i melarang
membahas ilmu kalam (tauhid yang mendalam)
karena menimbulkan keraguan.
Sumber :
- Ihya’ ulumddin, imam ghozali
- Tuhfah al-murid ‘ala jauharat tauhid, syaikh
Ibrahim al-Bajuri
- As-Sunnah wal Bid’ah, habib Abdullah bin
Muhammad al-Haddad
- Mafahim yajib an tushohhah, sayyid
Muhammad bin Alwi al-Maliki
- Silkud Duror, habib Muhammad bin Ali al-
Muradi al-Husaini
- Madzhab Al-Asy’ari, Muhammad Idrus
Romli —

SAYYIDUL ISTIGHFAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar