Jumat, 30 Agustus 2013

ILMU KALAM

Pemahaman Ilmu Kalam atau ilmu Aqidah atau
Ushuluddin
ﺑﺴﻢ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ ﺍﻟﺮﺣﻴﻢ
ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺫﻱ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﺍﻟﻤﺠﻴﺪ، ﻭﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﺍﻟﺴﻼﻡ ﻋﻠﻰ
ﺳﻴﺪﻧﺎ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺤﻤﺪ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻌَﺒﻴﺪ ، ﺛﻢ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤُﺒَﺸِّﺮﻳﻦ
ﺑﻪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻَﺤْﺒِﻪ ﻭﺧُﻠﻔﺎﺋﻪ ﻭﻭﺭﺛﺘﻪ ﺇﻟﻰ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻤَﺰﻳﺪ .
Ilmu Kalam juga disebut dengan ilmu Aqidah
atau Ushuluddin yaitu pokok-pokok Agama
karena materi kajian ilmu aqidah ini menyangkut
aqidah-aqidah yang merupakan pokok bagi
agama, seperti kepercayaan yang berkaitan
dengan ketuhanan, kepercayaan yang berkaitan
dengan kenabian, kepercayaan yang berkaitan
dengan hal-hal yang ghaib seperti tentang hari
akhir, hari kiamat, hari pembalasan, surga,
neraka dan lain-lain, namun ilmu kalam lebih
kepada pendalaman dalil-dalilnya, oleh karena
inilah disebut dengan ilmu kalam (ilmu yang
sering diperbincangkan dalil-dalilnya).
Dinamakan ilmu kalam karena dalam ilmu
aqidah ini banyak dibicarakan tentang sifat-sifat
Tuhan yang antara lain adalah sifat kalam.
Sedangkan para ulama dan ahli ilmu kalam
disebut dengan mutakallimin yaitu para pakar
ilmu kalam.
Ilmu kalam juga dinamakan ilmu Tauhid yaitu
ilmu tentang keesaan Tuhan, karena obyek kajian
dalam ilmu ini berangkat dan banyak difokuskan
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan keesaan
Tuhan.
Juga dinamak
an dengan ilmu an-Nadhor dan al-istidlal karena
ilmu aqidah ini lebih banyak bersandar pada
hasil penalaran dan pembuktian dengan dalil aqli
disamping dalil aqli.
Imam Abu Hanifah menamakan ilmu aqidah
atau ilmu kalam dengan al-Fiqhul akbar yaitu
fiqih besar. Sedangkan ilmu yang berkaitan
dengan amaliah sehari-hari seperti ibadah
sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain
dinamakan dengan al-fiqhul asghor yaitu fiqih
kecil.
Di Indonesia ada juga orang-orang yang
menamakan ilmu aqidah ini dengan ilmu sifat
dua puluh, karena dalam ilmu aqidah ini
dibicarakan tentang sifat wajib Allah yang
jumlahnya dua puluh. Ada pula yang
menamakannya dengan ilmu sifat lima puluh
karena dalam ilmu aqidah ini dibicarakan tentang
sifat-sifat yang wajib, mustahil dan yang jaiz
bagi Allah dan Rasul-Nya yang jumlahnya lima
puluh.
Kesimpulannya, istilah-istilah semua itu yaitu
ushuluddin, ilmu kalam, ilmu aqidah, ilmu
tauhid, ilmu aqo’id, ilmu sifat dua puluh dan
fiqul akbar, merupakan istilah bagi obyek yang
satu yaitu ilmu yang membicarakan tentang
keyakinan dan kepercayaan tentang ketuhanan,
kenabian, keakheratan dan lain-lain.
Tidak sedikit di antara kalangan yang
berpandangan negative terhadap ilmu kalam yang
menjadi wadah kajian aqidah Ahlussunnah wal
Jama’ah. Pandangan negative ini dilandasi oleh
asumsi mereka bahwa ilmu kalam itu identik
dengan ilmu filsafat yang dianggap negative oleh
kalangan agamawan. Sehingga pada gilirannya
anggapan nnegatif tersebut berlaku pula
terhadap ilmu kalam. Atau dari pemahaman
yang separuh-separuh.
Sebenarnya anggapan negative terhadap ilmu
kalam adalag berangkat dari ketidak fahaman
terhadap hakikat ilmu kalam serta perbedaannya
dengan ilmu filsafat. Padahal apabila difahami
dengan benar, ilmu kalam itu berbeda dengan
ilmu filsafat. Dengan pencermatan yang agak
seksama, akan ditemukan sekian banyak
perbedaan antara ilmu tauhid atau ilmu kalam
dengan ilmu filsafat yang dotolak oleh agamawan
itu. Perbedaan antara ilmu kalam dengan ilmu
filsafat tersebut meliputi metodologi (manhaj),
karakter penelitian, objek dan tujuan.
Pertama : dari segi metodologi. Kalau diamati
dengan seksama, para filosof membicarakan
eksistensi Allah, para malaikat dan lain-lainnya
hanya berlandasan pada pemikiran dan rasio.
Mereka menjadikan akal sebagai pokok bagi
keyakinan tanpa mempertimbangkan prinsip-
prinsip yang dibawa oleh para nabi. Mereka
tidak mengingkatkan dirinya dengan upaya
rekonsiliasi antara rasional dengan prinsip-
prinsip yang dibawa oleh para nabi. Demikianm
ini berbeda dengan para ulama tauhid atau ilmu
kalam yang membicarakan hal-hal tersebut
dalam konteks menjadikan akal satu-satunya
perangkat untuk membuktikan kebenaran ajaran
yang dating dari Allah dan ajaran yang dibawa
oleh para nabi. Menurut ulama tauhid akal
adalah sarana / perantara yang dapat
membuktikan kebenaran ajaran-jaran agama,
bukan fondasi atau titik tolak bagi keyakinan
dalam beragama.
Kedua : dari segi tujuan. Bila kita perhatikan
tujuan bidang studi ilmu kalam, akan kita dapati
bahwa seorang ahli ilmu kalam memiliki tujuan
yang konkrit yaitu bertujuan memperkokoh dan
memperkuat aqidah yang menjadi keyakinan
dalam agama. Hal ini berbeda dengan seorang
filosof yang memiliki tujuan yang masih belum
jelas, yaitu mencari kebenaran seperti apapun
bentuknya. Perbedaan antara kedua tujuan ini
jelas sekali.
Dari pemaparan di atas kiranya dapat
mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa ilmu
kalam berbeda dengan ilmu filsafat, dan
perbedaan tersebut melahirkan hokum yang
berbeda pula bagi keduanya. Ilmu kalam
diajarkan oleh para ulama sementara ilmu
filsafat ditolak oleh mereka.
Hukum ilmu kalam atau ilmu Tauhid :
Wahhabi / Salafi : Mereka mengharamkan ilmu
kalam secara muthlaq. Mereka berdalih
seandainya ilmu kalam termasuk urusan agama,
sudah pasti hal itu urusan terpenting yang
diperintahkan oleh Rasulullah Saw dan
mengajarkan metodenya, memuji ilmu kalam dan
memuji orang-orangnya. Tapi Rasul Saw malah
mengajarkan istinja’ dan ilmu fiqih lainnya.
Mereka juga mengambil dalil dari ucapan-ucapan
ulama kita (Ahlus sunnah) sebagai dalil
pengharaman ilmu kalam. Seperti imam Sayafi’I
yang berkata “ Sungguh seorang hamba
berjumpa dengan Allah dengan membawa semua
dosa selain dosa syirik lebih baik daripada
berjumpa dengan Allah dengan membawa ilmu
kalam “. Bahkan imam Syafi’I memerintahkan
untuk memberi sanksi cambuk dan diarak
keliling kampung bagi orang yang mendalami
ilmu kalam dan meninggalkan al-Quran dan
Hadits. Padahal bukan demikian yang dimaksud
oleh imam Styafi’i.
Ibnu Taimiyyah, pendiri wahhhabiyyah
megatakan : “ Sesungguhnya para pengikut
paham Asy'ari dan sebagian orang yang
menganut paham Qadariyyah telah sependapat
dengan al-Jahm ibn Shafwan dalam prinsip
pendapatnya tentang Jabariyyah, meskipun
mereka ini menentangnya secara verbal dan
mengemukakan hal-hal yang tidak masuk akal...
Begitu pula mereka itu berlebihan dalam
menentang kaum Mu'tazilah dalam masalah-
masalah Qadariyyah --sehingga kaum Mu'tazilah
menuduh mereka ini pengikut Jabariyyah-- dan
mereka (kaum Asy'ariyyah) itu mengingkari
bahwa pembawaan dan kemampuan yang ada
pada benda-benda bernyawa mempunyai dampak
atau menjadi sebab adanya kejadiankejadian
(tindakan-tindakan) .
Ahlus sunnah wal Jama’ah : Hukum ilmu kalam
diperinci. Mengharamkan ilmu kalam secara
muthlaq adalah salah dan membolehkan ilmu
kalam secara muthlaq juga salah.
Hukum ilmu kalam terbagi menjadi empat :
Halal, sunnah, wajib dan haram menurut sikon.
Perkara yang haram terkadang dihukumi haram
karena dzatnya seperti khomer (arak) dan
bangkai. Alasan keharaman karena dzatnya
adanya sifat pada dzatnya yaitu khomer
sifatnya memabukkan dan bangkai sifatnya
mati.
Dan dihukumi haram karena yang lainnya
(bukan dzatnya) seperti makan tanah atau
berwudhu dengan air curian. Tanah hukumnya
halal tp karena membahayakan jika dimakan
maka menjadi haram. Demikian juga air
hukumnya halal tapi karena diperoleh dengan
cara mencuri maka hukumnya haram.
Demikian juga ilmu kalam atau ilmu tauhid
hokum aslinya adalah halal atau ada manfaatnya
yaitu menjaga aqidah dari ajaran-ajaran yag
rancu.
Dan menjadi haram atau ada madhorotnya jika
mendorong pada kesyubhatan dan menggoyahkan
aqidah dari kekokohan dan juga dapat
memperkuat aqidah orang-orang ahli bid’ah di
dalam dada mereka sekiranya ahli bid’ah
semakin terus berkeyakinan pada bid’ahnya akan
tetapi jika ia memiliki sifat fanatisme. Oleh
karena itu kamu melihat ahli bid’ah yang awam
masih bisa lepas dari aqidah bid’ahnya dengan
sikap lembut, kecuali jika ia tumbuh di kalangan
yang suka berdebat dan fanatisme. Karena
seandainya orang-orang dulu dan sekarang jika
bersatu untuk membenarkan aqidahnya, tidak
akan mampu mencabut aqidah bid’ahnya dari
dadanya bahkan hawa nafsu dan fanatisme
serta membenci lawannya akan menguasai
hatinya dan mencegahnya dari mengetahui
kebenaran, sampai-sampaib seandainya
ditanyakan padanya “ Apakah kamu mau Allah
menyingkap kebenaran dan memberitahumu
bahwa kebenaran ada pada lawanmu ? “ maka
niscaya ia akan membenci hal itu karena takut
lawannya menjadi senang sedangkan ia susah
atau malu.
Kesimpulannya adalah : Orang-orang awam
yang sibuk dengan aktifitas kerjanya, wajib
meninggalkan ilmu kalam atas dasar
kesalamatan bagi aqidahnya yang telah ia
pelajari dasar-dasarnya sebagaimana yang telah
tersusun dalam QOWAIDUL AQOOID imam
Ghozali atau AQIDATUL AWAM. Karena
mempelajari ilmu kalam bisa membahayakannya,
sebab terkadang membuatnya ragu dan goyah
aqidahnya maka tidak memunkinkan untuk
meluruskannya stelah itu.

SAYYIDUL ISTIGHFAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar