Rabu, 24 Juli 2013

BIDHAH & WAHABI (UMMATI PRESS)

rdahulu
, alhamdulillah dengan rahmat Allah dan
hidayah-NYA, berikut akan kami tunjukkan
kesalahan “kaum wahhabi” dalam memahami
permasalahan bid’ah. Walaupun mereka selalu
mengklaim sebagai kebenaran satu-satunya
dan merasa telah mengikuti pemahaman para
Sahabat Nabi, akan tetapi kenyataannya
mereka hanya “OMDO” atau omong doang,
berikut ini adalah buktinya:
1. Mereka tidak memperdulikan perkataan yang
sangat masyhur dari Sahabat Umar: “Ni’matul
bid’atu hadzihi” (alangkah bagus bid’ah ini).
Di sini sangat jelas Sayyidian Umar memuji
bid’ah (Sholat Tarawih Berjamaah sebulan
penuh) sebagai kebaikan, ini sekaligus
mencerminkan sejelas-jelasnya tentang adanya
bid’ah yang baik (hasanah). Jika kaum
Wahabi mengingkarinya sebagaimana yang
mereka telah pertontonkan selama ini, apakah
masih pantas mereka menyebut dirinya sebagai
PENGIKUT PEMAHAMAN SAHABAT
NABI?
2. Mereka tidak berani jujur dalam mengartikan
kata “kullu” dalam hadits “KULLU BID’ATIN
DHOLALAH….”. Sebaliknya mereka
memaksakan arti “kullu” hanya satu macam
arti yaitu “setiap/semua”. Padahal arti “kullu”
itu ada dua sesuai kontek kalimat, yaitu :
“setiap/semua” dan “sebagian”. Jadi menurut
arti yang benar berkaitan hadits tersebut
adalah “SEBAGIAN BID’AH ITU
SESAT….. DAN SETIAP KESESATAN
TEMPATNYA DI NERAKA”. Maka jelaslah
maksudnya bahwa yang masuk neraka adalah
setiap kesesatan dan bukan setiap bid’ah
sebagaimana anggapan kaum Wahabi. Sebab
menurut Sayyidina Umar ternyata ada bid’ah
yang baik, dan bid’ah yang baik tentunya akan
mendapat pahala berupa kenikmatan surga.
Bagi para penuntut ilmu yang mempelajari
ilmu mathiq di pesantren Salafiyyah
(pesantren klasik NU), bahwa menurut istilah
ilmu manthiq arti kata KULLU sudah sangat
dimaklumi pengertiannya, yaitu:
1- Ada kata “kullu” yang berarti “setiap/tiap-
tiap/semua″ ini disebut “kullu kulliyah”
2- Ada kata “kullu” yang berarti “sebagian”
yang disebut “kullu kully”
Sebagai contoh “kullu kulliyah”, adalah firman
Allah dalam salah satu ayat Al Qur’an: “Kullu
nafsin dzaa’iqotul maut” yang artinya “setiap
yang berjiwa akan merasakan mati”. Kata
KULLU dalam ayat tersebut sangat tepat
diartikan “SETIAP” dan akan menjadi salah
jika diartikan “SEBAGIAN” karena faktannya
memang semua/setiap yang bernyawa pasti
akan merasakan mati. Demikianlah, kita tidak
bisa mengartikan secara serampangan sehingga
memaksakan arti yang nantinya akan
menimbulkan kontra dengan fakta.
Adapun sebagai contoh “kullu kully”, adalah
firman Allah: “wa ja’alnaa minal maa’i kulla
syai’in hayyin” yang artinya “Dan telah kami
jadikan dari air SEBAGIAN makhluk hidup”.
Dalam ayat ini kalau kata “kulla syai’in”
diartikan “setiap/semua” maka akan kontra
(bertentangan) dengan kenyataan bahwa ada
makhluk hidup yang dijadikan Allah tidak dari
air. Ada makhluk yang dijadikan dari cahaya
seperti malaikat, dan ada yang dijadikan dari
api; contohnya jin juga syetan dijadikan dari
api. Sebagaimana firman Allah: “wa kholaqol
jaanna min maarijin min naar” yang artinya
“Dan Allah telah menjadikan jin itu dari api”
Dari uraian di atas maka sudah jelaslah bahwa
arti “kullu” itu ada dua yaitu “setiap/semua″
dan “sebagian”. Dalam mengartikan “KULLU”
tidak bisa serampangan begitu saja, tetapi
harus melihat kontek kalimatnya agar nantinya
tidak menjadi kontra dengan realitas, fakta
atau kenyataan yang ada.
Oleh karena itu menjadi sangat mengherankan
apa yang selama ini diperlihatkan oleh kaum
wahhabi yang bangga dengan kesalahan dalam
mengartikan “kullu” tanpa melihat kontek
kalimat, sehingga mereka memaksakan arti
“setiap/semua” untuk kata KULLU dalam
hadits BID’AH tersebut. Sehingga mereka
ngotot menggunakan dalil “kullu bid’atin
dlolalah” sebagai alat untuk membid’ahkan
(baca: mengharamkan) apa saja yang tidak ada
contohnya dari Nabi. Ini karena mereka
menganggap semua/setiap bid’ah itu sesat
tanpa kecuali. Tentunya ini kontra dengan
kenyataan dan realitas bahwa ternyata ada
bid’ah (hal baru) yang baik (hasanah).
Sampai-sampai sayyidina memuji bid’ah
“NI’MATUL BID’ATU HADZIHI; alangkah
bagus bid’ah ini”.
Beberapa Kesalahan Kaum Wahhabi yang
Lainnya
Benar-benar sudah masyhur tersebar di
kalangan kaum wahhabi bahwa “bid’ah” itu
hanyalah ada pada urusan “ibadah”. Pada
selain urusan ibadah mereka anggap tidak ada
bid’ahnya. Mereka selalu mengatakan bahwa:
Ibadah itu tak boleh diubah, ditambah,
dikurangi atau diciptakan sendiri, kesemuanya
harus berbentuk asli dari Nabi. Gara-gara
anggapan seperti itu mereka lupa bahwa
berdo’a itu adalah termasuk ibadah, dan di
dalam berdo’a tentunya kita bisa ngarang
sendiri, menciptakan sendiri dengan bahasa
sendiri. Baru satu contoh ini saja kaidah
mereka menjadi runtuh sebab kontra dengan
kenyataan bahwa ibadah berdo’a itu kita bisa
menciptakannya sendiri.
Adapun urusan “selain ibadah”, kata kaum
wahhabi bolehlah berubah menurut keadaan
zaman. Untuk mendukung anggapan ini mereka
mengaplikasikan hadits Nabi saw: “Jika ada
soal-soal agamamu, serahkanlah ia kepadaku.
Jika ada soal-soal keduniaanmu, maka kamu
lebih mengetahui akan soal-soal duniamu itu”.
Dipandang secara dangkal dan sepintas lalu
anggapan Wahhabi ini seperti benar. Tetapi
anggapan ini sesungguhnya adalah salah, hal
ini karena:
1- ”Bid’ah” itu selain dalam urusan “ibadah”
kenyataannya juga terdapat di dalam urusan
mu’amalah (pergaulan masyarakat) seperti:
pementasan lakon-lakon Nabi dalam drama,
baik yang bersifat hiburan atau komersil. Juga
terdapat banyak contoh dalam kasus-kasus
yang bersifat mu’amalah.
2- Sebenarnya yang menjadi sasaran hadits
Nabi di atas adalah bukan mengenai “Bid’ah”
melainkan mengenai “hukum agama/syari’at”
dan “hal-hal dunyawiyyah yang bersifat
teknis”. Dalam hal teknis dunyawiyah, kita
dianggap lebih tahu oleh Nabi Saw.
Sebagai contoh:
- Hukum membangun masjid adalah urusan
agama, harus dikembalikan kepada Nabi,
artinya harus bersumber dari Qur’an dan
sunnah. Sedang teknik pembangunannya
adalah “urusan dunia” dan ini diserahkan
kepada ummat, terserah menurut
perkembangan peradaban manusia.
- Hukum pertanian agar hasil-hasilnya menjadi
halal atau haram adalah urusan agama. Ini
harus bersumber dari Qur’an atau Sunnah.
Teknik cocok tanamnya adalah urusan dunia,
terserah kepada kita boleh mengikuti
perkembangan teknologi saat ini. Demikianlah
kita dipandang lebih tahu urusan teknisnya
oleh Nabi dalam hadits tersebut.
Di dalam pemahaman seperti inilah Nabi
menyabdakan Hadits di atas. Samasekali
bukan seperti dalam pemahaman “kaum
wahhabi” di atas , sehingga mereka dengan
ngawur mengatakan bid’ah itu hanya ada
dalam urusan agama, tentunya hal ini tidak
nyambung dengan yang dimaksud Nabi dalam
sabdanya tersebut.
Kesalahan kaum wahhabi selain yang sudah
dicontohkan di atas, adalah mereka
menganggap bahwa “ibadah” itu hanya satu
macam yang mana semua bentuknya harus asli
dari Nabi saw. Padahal faktanya tidak
demikian menurut ilmu yang benar. Bahwa
yang benar “ibadah” itu ada dua macam, yaitu:
1. Ibadah Muqoyyadah (Ibadah yang terikat)
atau biasa disebut juga sebagai ibadah
mahdhoh, contohnya seperti:
- Sholat wajib 5 waktu
- Zakat wajib
- Puasa Ramadhan
- Haji, dsb…..
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalannya
(keasliannya) dari Nabi saw dalam segala-
galanya, hukumnya, teknik pelaksanaannya,
waktu dan bentuknya. Kesemuanya diikat
(muqoyyad) menurut aturan-aturan tertentu.
Tidak boleh dirubah.
2. Ibadah Muthlaqoh (Ibadah yang tidak
terikat secara menyeluruh), atau biasa juga
disebut ibadah Ghoiru Mahdhoh , seperti
contoh:
- Dzikir (lisan atau hati) kepada Allah SWT
- Tafakkur tentang makhluk Allah
- Belajar atau Mengajar ilmu agama
- Berbakti kepada ayah dan ibu (birrul
walidain)
- dan masih banyak sekali contohnya….
Ibadah-ibadah ini mempunyai keasalan dari
Nabi saw. dalam beberapa hal, sedang
mengenai bentuk dan teknik pelaksanaannya
tidak diikat dengan aturan-aturan tertentu,
terserah kepada ummat, asal tidak melanggar
garis-garis pokok “Syari’at Islam”. Pada
ibadah muthlaqoh (ghoiru mahdhoh) inilah
terbuka peluang akan terjadi “bid’ah hasanah”.
Demikianlah paham Ahlussunnah wal jama’ah
yang jelas bertentangan dengan pemahaman
“kaum wahhabi”.
Sebelum mengahiri penjelasan mengenai bid’ah
ini, sebagai tambahan akan kami berikan
contoh-contoh bid’ah hasanah:
- Mengumpulkan ayat-ayat Al Qur’an yang
sebelumnya terpisah-pisah menjadi kitab
(mushaf) yang tertib diawali dengan Fatihah
dan diakhiri dengan an-Naas. Kita tahu dalam
sejarahnya sempat terjadi ketegangan di antara
sahabat-sahabat Nabi karena pengumpulan Al
Qur’an ini dianggap bid’ah oleh mereka. Tetapi
akhirnya dikumpulkan juga menjadi satu kitab
sehingga kita di zaman ini bisa menikmati baca
Al Qur’an. Ini berkat tindakan nekad para
sahabat dalam melaksanakan bid’ah hasanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar