Rabu, 24 Juli 2013

SYEKH ALBANI MUHADDIST MAJHUL

Dewasa ini perkembangan ilmu hadits di
dunia akademis mencapai fase yang cukup
signifikan. Hal ini ditandai dengan
banyaknya kajian-kajian ilmu hadits dari
kalangan ulama dan para pakar yang
hampir menyentuh terhadap seluruh
cabang ilmu hadits seperti kritik matan,
kritik sanad, takhrij al-hadits dan lain
sebagainya. Kitab-kitab hadits klasik yang
selama ini terkubur dalam bentuk
manuskrip dan tersimpan rapi di rak-rak
perpustakaan dunia kini sudah cukup
banyak mewarnai dunia penerbitan.
Namun sayang sekali, dibalik
perkembangan ilmu hadits ini, ada pula
kelompok-kelompok tertentu yang berupaya
menghancurkan ilmu hadits dari dalam. Di
antara kelompok tersebut, adalah
kalangan Mereka yang Meremehkan
Amalan Dari Hadits Dlo,if dalam konteks
fadhail al-a’mal, manaqib dan sejarah,
yang dikomandani oleh Muhammad
Nashiruddin al-Albani, tokoh Wahhabi dari
Yordania, dan murid-muridnya. Baik
murid-murid yang bertemu langsung
dengan al-Albani, maupun murid-murid
yang hanya membaca buku-bukunya seperti
kebanyakan Wahhabi di Indonesia. dengan
kata lain mereka Bergaya Ilmiyah
Menfitnah Ilmuwan .
Di kutip dan di ringkas dari Kitab al-
Lamadzhabiyyah Akhthar Bid’ah Tuhaddid
al-Syari’at al-Islamiyyah.
Ada sebuah perdebatan yang menarik
tentang ijtihad dan taqlid, antara Syaikh
Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi,
seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah di
Syria, bersama Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albani , seorang tokoh Salafi
Wahabi dari Yordania.
Syaikh al-Buthi bertanya: “Bagaimana cara
Anda memahami hukum-hukum Allah,
apakah Anda mengambilnya secara
langsung dari al-Qur’an dan Sunnah, atau
melalui hasil ijtihad para imam-imam
mujtahid?”
Al-Albani menjawab: “Aku membandingkan
antara pendapat semua imam mujtahid
serta dalil-dalil mereka lalu aku ambil
yang paling dekat terhadap al-Qur’an dan
Sunnah.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Seandainya
Anda punya uang 5000 Lira. Uang itu Anda
simpan selama enam bulan. Kemudian uang
itu Anda belikan barang untuk
diperdagangkan, maka sejak kapan barang
itu Anda keluarkan zakatnya. Apakah
setelah enam bulan berikutnya, atau
menunggu setahun lagi?”
Al-Albani menjawab: “Maksud
pertanyaannya, kamu menetapkan bahwa
harta dagang itu ada zakatnya?”
Syaikh al-Buthi berkata: “Saya hanya
bertanya. Yang saya inginkan, Anda
menjawab dengan cara Anda sendiri. Di sini
kami sediakan kitab-kitab tafsir, hadits dan
fiqih, silahkan Anda telaah.”
Al-Albani menjawab: “Hai saudaraku, ini
masalah agama. Bukan persoalan mudah
yang bisa dijawab dengan seenaknya. Kami
masih perlu mengkaji dan meneliti. Kami
datang ke sini untuk membahas masalah
lain”.
Mendengar jawaban tersebut, Syaikh al-
Buthi beralih pada pertanyaan lain: “Baik
kalau memang begitu. Sekarang saya
bertanya, apakah setiap Muslim harus atau
wajib membandingkan dan meneliti dalil-
dalil para imam mujtahid, kemudian
mengambil pendapat yang paling sesuai
dengan al-Qur’an dan Sunnah?”
Al-Albani menjawab: “Ya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Maksud jawaban
Anda, semua orang memiliki kemampuan
berijtihad seperti yang dimiliki oleh para
imam Madzhab dalam Islam ? Bahkan
kemampuan semua orang lebih sempurna
dan melebihi kemampuan ijtihad para
imam madzhab. Karena secara logika,
seseorang yang mampu menghakimi
pendapat-pendapat para imam madzhab
dengan barometer al-Qur’an dan Sunnah,
jelas ia lebih alim dari mereka.”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya manusia
itu terbagi menjadi tiga, yaitu muqallid
(orang yang taklid), muttabi’ (orang yang
mengikuti) dan mujtahid. Orang yang
mampu membandingkan madzhab-madzhab
yang ada dan memilih yang lebih dekat
pada al-Qur’an adalah muttabi’. Jadi
muttabi’ itu derajat tengah, antara taklid
dan ijtihad.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa kewajiban
muqallid?”
al-Albani menjawab: “Ia wajib mengikuti
para mujtahid yang bisa diikutinya.”
Syaikh al-Buthi bertanya; “Apakah ia
berdosa kalau seumpama mengikuti seorang
mujtahid saja dan tidak pernah berpindah
ke mujtahid lain?” al-Albani menjawab:
“Ya, ia berdosa dan haram hukumnya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Apa dalil yang
mengharamkannya?”
Al-Albani menjawab: “Dalilnya, ia
mewajibkan pada dirinya, sesuatu yang
tidak diwajibkan Allah padanya.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Dalam membaca
al-Qur’an, Anda mengikuti qira’ah-nya
siapa di antara qira’ah yang tujuh?”
Al-Albani menjawab: “Qira’ah Hafsh.”
Al-Buthi bertanya: “Apakah Anda hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja? Atau setiap
hari, Anda mengikuti qira’ah yang berbeda-
beda?”
Al-Albani menjawab: “Tidak. Saya hanya
mengikuti qira’ah Hafsh saja.”
Syaikh al-Buthi bertanya: “Mengapa Anda
hanya mengikuti qira’ah Hafsh saja,
padahal Allah subhanahu wa ta’ala tidak
mewajibkan Anda mengikuti qira’ah Hafsh.
Kewajiban Anda justru membaca al-Qur’an
sesuai riwayat yang datang dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam secara
mutawatir.”
Al-Albani menjawab: “Saya tidak sempat
mempelajari qira’ah-qira’ah yang lain.
Saya kesulitan membaca al-Qur’an dengan
selain qira’ah Hafsh.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Orang yang
mempelajari fiqih madzhab al-Syafi’i, juga
tidak sempat mempelajari madzhab-
madzhab yang lain. Ia juga tidak mudah
memahami hukum-hukum agamanya
kecuali mempelajari fiqihnya Imam al-
Syafi’i.
Apabila Anda mengharuskannya
mengetahui semua ijtihad para imam, maka
Anda sendiri harus pula mempelajari
semua qira’ah, sehingga Anda membaca al-
Qur’an dengan semua qira’ah itu. Kalau
Anda beralasan tidak mampu
melakukannya, maka Anda harus
menerima alasan ketidakmampuan
muqallid dalam masalah ini.
Bagaimanapun, kami sekarang bertanya
kepada Anda, dari mana Anda berpendapat
bahwa seorang muqallid harus berpindah-
pindah dari satu madzhab ke madzhab lain,
padahal Allah tidak mewajibkannya.
Maksudnya sebagaimana ia tidak wajib
menetap pada satu madzhab saja, ia juga
tidak wajib berpindah-pindah terus dari
satu madzhab ke madzhab lain?”
Al-Albani menjawab: “Sebenarnya yang
diharamkan bagi muqallid itu menetapi
satu madzhab dengan keyakinan bahwa
Allah memerintahkan demikian.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Jawaban Anda ini
persoalan lain. Dan memang benar
demikian. Akan tetapi, pertanyaan saya,
apakah seorang muqallid itu berdosa jika
menetapi satu mujtahid saja, padahal ia
tahu bahwa Allah tidak mewajibkan
demikian?”
Al-Albani menjawab: “Tidak berdosa.”
Syaikh al-Buthi berkata: “Tetapi isi buku
yang Anda ajarkan, berbeda dengan yang
Anda katakan. Dalam buku tersebut
disebutkan, menetapi satu madzhab saja itu
hukumnya haram. Bahkan dalam bagian
lain buku tersebut, orang yang menetapi
satu madzhab saja itu dihukumi kafir.”
Menjawab pertanyaan tersebut, al-Albani
kebingungan menjawabnya.
Demikianlah dialog panjang antara Syaikh
al-Buthi dengan Muhaddits Abad Milenium
al-Albani, yang didokumentasikan dalam
kitab beliau al-Lamadzhabiyyah Akhthar
Bid’ah Tuhaddid al-Syari’at al-Islamiyyah.
Dialog tersebut menggambarkan, bahwa
kaum Wahhabi melarang umat Islam
mengikuti madzhab tertentu dalam bidang
fiqih.
Tetapi ajakan tersebut, sebenarnya upaya
licik mereka agar umat Islam mengikuti
madzhab yang mereka buat sendiri.
Tentu saja mengikuti madzhab para ulama
salaf, lebih menenteramkan bagi kaum
Muslimin. Keilmuan, ketulusan dan
keshalehan ulama salaf jelas diyakini
melebihi orang-orang sesudah mereka.
Wallohu ‘Alam ….Smoga bermanfaat…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar