Rabu, 24 Juli 2013

TANYA JAWAB HUKUM BIDHAH (kajian ilmiah Syekh Ansoori Dahlan ponpes Sidogiri)Bag I

Tanya:
Hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat
dijadikan dalil bid’ah hasanah.Karena hadits
tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah
redaksinya berbunyi,man sanna fil Islaam
sunnatan
hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut
mempunyai latar belakang, yaitu anjuran
sedekah.
Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada
tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi
hadits yang dijadikan dalil bid’ah hasanah
tidak proporsional.”
Jawab:
“Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-
Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan
teliti.
Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud
dengan sunnah dalam teks hadits tersebut
adalah sunnah secara lughawi (bahasa).
Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-
thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira
mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik
perbuatan yang diridhai atau pun tidak).
Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa
dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu
hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu
alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir
(segala sesuatu yang datang dari Nabi
shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa
ucapan, perbuatan
maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi
terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang
setelah abad kedua Hijriah.
Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin
Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan
Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam
dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian
hadits
tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba
kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua
kalimat yang belawanan, pertama kalimat man
sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua,kalimat
berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan
sayyi’atan.
Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits
tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul
shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi
ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah
pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu
alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik)
dan
ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini
pengertian sangat keliru.
Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-
Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna
fil islam sunnatan hasanatan, membatasi
jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah,
karena makna haditsnya sangat jelas, tidak
perlu disangsikan. Selanjutnya, alasan bahwa
konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-
wurud) hadits tersebut berkaitan dengan
anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah
sekali.
Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita
kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-
khusush al-sabab,(peninjauan dalam makna
suatu teks itu tergantung pada keumuman
kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang
khusus).”
Tanya:
Menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu
tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.
Jawab:
“Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat
al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali.Justru al-Imam
Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya
saja beliau tidak mau menamakan bid’ah
hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan
Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja.
Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima
bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum
wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min
Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan
al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi
dua. Dan seandainya al- Imam Ibn Rajab
memang berpendapat seperti yang dikatakan,
kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami
akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam dan para sahabat yang mengakui adanya
bid’ah hasanah.”
Tanya:
Dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur
Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman
dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah
hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur
Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam telah memerintahkan kita mengikuti
Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum
bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al
mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah
Khulafaur
Rasyidin yang memperoleh petunjuk).
Dengan demikian, apa yang mereka lakukan
sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan
hadits ini.”
Jawab:
Sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur
Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah
seperti yang suka menuduh ahli bidah
sayyiah.Karena Khulafaur Rasyidin sendiri
melakukan bid’ah
hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita mengikuti Khufaur
Rasyidin.
Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah
hasanah.
Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam
memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah.
Dengan demikian yang berpendapat dengan
adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita
ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan
Khulafaur Rasyidin dengan melakukan
bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
Tanya:
Kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu
bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan
artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan
semua bid’ah, lalu apakah Anda akan
mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa
kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang
sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk
neraka, bukan semuanya. Apakah antum berani
mengartikan demikian?”
Jawab:
Dalam mengartikan atau membatasi jangkauan
makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh
mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus
mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para
ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin
dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu
sesat, karena ada sekian banyak hadits yang
menuntut demikian.
Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu
dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di
neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama
kami tidak menemukan dalil-dalil yang
membatasi jangkauan maknanya, maka kami
akan tetap berpegang pada keumumannya.
Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah
teks itu tergantung dalil. Yang namanya
dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah.Jadi membatasi
jangkauan makna dalil, dengan dalil pula,
bukan dengan hawa nafsu.”
Tanya :
Bagaimanakah Arti hadist Kullu bid'atin
dholalah yang artinya
: Semua bid’ah sesat. Padahal keterangan di
atas,ada yang
hasanah (bagus) ada yang sayyiah
(buruk ).
Jawab :
Perlu kita maklumi bersama ,bahwa menurut
ilmu mantiq :
*. Lafadz KULLU yang mengandung arti “tiap-
tiap” disebut kullu kulliyah.
*. Lafadz KULLU yang yang mengandung Arti
“sebagian “ di sebut kullu kulliy
Tanya :
Bagaimana contohnya ?
Jawab :
Contoh firman Allah yang mengandung arti
“tiap-tiap” (kullu
kulliyah) “Kullu nafsin dzaiqotul maut” “
Artinya :Tiap-tiap orang merasakan
mati.”
Contoh firman Allah yang mengandung
arti “sebagian” (kullu kulliy) ……yang artinya :
Dan telah kami jadikan dari
air sebagian makhluk yang hidup.”
Kalau “kulla syain disini di artikan
“tiap-tiap segala sesuatu maka
bertentangan dengan kenyataan,bahwa ada
makhluk hidup yang di jadikan oleh Allah
tidak dari air.Seperti malaikat dari
cahaya dan jin dari Api.
Firman Allah swt :“
Dan tuhan telah menjadikan semua jin
dari sebuah api.”
Jadi jelasnya “kullu” itu mengandung
dua Arti ; adakalanya “tiap-tiap”,dan
adakalanya “sebagian”.
Tanya :
Bagaimanakah maksud dari pada hadist Nabi
saw yang artinya : “Jika ada soal – soal
agamamu ,serahkanlah ia kepadaku.Jika
ada soal – soal duniamu maka kamu
akan mengetahui akan soal – soal
duniamu itu.”
Jawab :
Sasaran dari hadist di atas sebenarnya bukan
mengenai “Bid’ah”
melainkan mengenai “Hukum” dan
“tekhnik”
CONTOH :
Hukum membangun Masjid/madrasah adalah
urusan Agama.Harus di kembalikan kepada Nabi
saw.Artinya harus bersumber dari Al-Qur’an
dan Assunnah.Sedangkan tekhnik
pembangunanya adalah urusan dunia.dan ini di
serahkan kepada umat,terserah menurut
peradaban manusia/perkembangan zaman.
Tanya :
Sebagian golongan yang ingkar pada faham Ahli
sunnah wal jama’ah
menganggap,ibadat itu hanya ada satu
macam dan harus dari Nabi saw.
Betulkah itu?
Jawab :
Yang benar ‘badat itu ada dua macam :
a. Ibadat muqayyadah ( ibadah yang terkait )
Seperti :
- Sholat wajib lima waktu
- Zakat wajib
- Puasa ramadhan
- Haji dsb…
Ibadat – ibadat ini mempunyai keasliannya dari
Nabi dalam segala – galanya,Hukumnya,tekhnik
pelaksanaanya ,waktu dan
bentuknya .Kesemuanya di ikat (muqayyad)
menurut aturan tertentu tidak boleh di rubah.
b. Ibadat Muthlaqah (ibadah yang tidak terikat
secara menyeluruh )
seperti :
- Dzikir
- Tafakkur
- Membaca Al-Qur’an
- Belajar/mengajar ilmu agama,
- Birrul waalidain (berbakti kepada ayah dan
ibu) dll
Ibadat – ibadat ini mempunyai keaslianya dari
Nabi dalam beberapa hal.Sedang mengenai
bentuk dan tekhnik pelaksanaanya tidak di ikat
dengan aturan-aturan tertentu,terserah kepada
ummat,asal tidak melanggar pokok – pokok
Syariat islam.
Kadang-kadang pada ibadat muthlaqah inilah
terjadi bid’ah hasanah.Demikian menurut faham
Ahli sunnah wal jama’ah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar