Rabu, 24 Juli 2013

MENGENAL HIZBUT TAHRIR/HTI (kajian ilmiah Syekh Ansoori Dahlan ponpes Sidogiri)


ﺑِﺴْــــــــــــــــــــــﻢِ ﺍﻟﻠّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ
Benarkah Khilafah Hizbut Tahrir Adalah
Khilafah Ahlussunnah?
Siapa yang tidak ingin Islam kembali jaya
seperti pada masa-masa keemasan Islam. Ilmu
agama tersebar ke seluruh penjuru, dipimpin
oleh satu pimpinan yang adil dan sanggup
menjalankan syariat Islam secara total. Itu
adalah cita-cita seluruh umat Islam di dunia.
Kemudian, Hizbut Tahrir yang didirikan pada
tahun 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, datang
dan mengusung dakwah penegakan khilafah yang
dipimpin khalifah tunggal di muka bumi. Dia
menawarkan konsep yang telah ia susun tentang
khilafah dan pemerintahan Islam. Menurutnya,
kelemahan Islam saat ini lebih disebabkan oleh
tidak adanya khlilafah yang memimpin seluruh
umat Islam di dunia.
Hizbut Tahrir telah menyusun konsep khilafah
dengan sangat rinci. Banyak poin-poin yang
jarang menjadi pembahasan dalam konsep
Ahlusunah diatur oleh mereka, seperti struktur
kepemerintahan yang terdiri atas 13 jihaz
(jabatan) dan pembatasan calon khilafah
(maksimal enam orang). Mereka melandaskan
aturan-aturan itu pada fakta historis dan apa
yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para
Khulafaur-Rasyidin.
Jumlah enam itu diambil karena calon yang
ditetapkan oleh Sayidina Umar r.a hanya
berjumlah enam orang. Namun apakah hal itu
menjadi suatu aturan yang harus ditetapkan?
Dan bila tidak, apakah pemerintahnya tidak
dianggap sama sekali? Ataukah itu hanya
konsep ideal yang tidak menutup terjadinya
realita berbeda sehingga pemerintahnya tetap
sah?
Sebenarnya memang ada perbedaan antara
konsep khilafah HT dan Ahlusunah. Perbedaan
ini berawal dari perbedaan sudut pandang
mengenai apakah konsep itu merupakan harga
mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu,
berikut penulis tampilkan beberapa di antaranya:
Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab
Ajhizatu Daulatil-Khilafah, hal 60, “Kaum
Muslimin di seluruh dunia wajib berada dalam
satu negara dan wajib pula hanya ada satu
khalifah bagi mereka. Secara syariat, kaum
Muslimin di seluruh dunia haram memiliki lebih
dari satu negara dan lebih dari seorang
khalifah.”
Menurut mereka, khalifah di muka bumi harus
satu orang, dan itu harga mati. Jika khilafah
telah ditegakkan di suatu daerah, maka seluruh
umat Islam di dunia harus tunduk dan patuh
kepadanya.
Memang pendapat jumhur (mayoritas) ulama
Sunni menyatakan bahwa imam tidak boleh lebih
dari satu dalam satu masa. Namun, Imam al-
Haramain dan Imam al-Juwaini serta sebagian
ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan
dilantiknya imam lebih dari satu bila memang
tidak memungkinkan.
Untuk saat ini, penegakan imam tunggal di muka
bumi sangatlah sulit untuk diwujudkan
mengingat umat Islam telah terkotak-kotak di
negara yang berbeda-beda. Tentu saja
perdebatan tentang penegakan khilafah sentral
akan sangat alot. Bahkan bisa jadi sebelum
khilafah itu tegak, perang saudara justru akan
meledak. Di situlah Ahlusunah melihat
kenyataan. Pesimis? Bukan, tapi realistis.
Melihat realita yang ada, bangunan Islam di
Indonesia tetap kita sempurnakan, bukannya
merombak dan membangunnya dari awal lagi.
Kedua, dalam Nidzamul-Islam, hal 151, ad-
Daulah Islamiyah, hal 304, dan Nidzamul-
Hukmi fil-Islam, hal 110, tentang hal-hal yang
melengserkan khalifah seketika itu. Di antaranya
adalah “fasik yang terang-terangan”.
Pendapat ini jelas berbeda dengan Ahlusunah.
Ulama Ahlusunah menetapkan bahwa seorang
khalifah tidak dapat dilengserkan sebab ia fasik.
Imam Nawawi menjelaskan, “Ahlusunah
menyepakati bahwa seorang sultan tidak
dilengserkan karena perbuatan fasik yang
dilakukan olehnya.” Pendapat ini juga searah
dengan Hadis Nabi SAW, “(Kita diperintahkan
juga agar) Tidak memberontak terhadap para
penguasa kecuali jika kalian melihatnya
melakukan kekufuran yang jelas.” (HR. al-
Bukhari dan Muslim). Dan Hadis, “Barang siapa
yang membenci dari amirnya hendaknya ia
bersabar atasnya, karena tidak seorangpun
membangkang terhadap seorang sultan
kemudaian mati dalam keadaan seperti itu maka
ia mati jahiliyah.” (HR. Muslim). Dampaknya,
jika khalifah itu tak lagi dianggap otomatis, dia
sudah tidak lagi wajib ditaati dan wajib
mengangkat khalifah baru lagi.
Ketiga, tentang darul-islam. Mereka menyebutkan
dalam Hizbut-Tahrir, hal 5, “Umat Islam sejak
runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah
Islam dan tanpa hukum Islam.” Juga pada
halalaman 29 dalam Manhaj Hizbit-Tahrir, hal
5 dan 8, “Dan di negeri-negeri kaum Muslimin
sekarang tidak satu negeri atau pemerintahan
yang mempratikkan hukum-hukum Islam dalam
hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah
semuanya terhitung darul-kufri meskipun
penduduknya adalah Muslimin.”
Menurut Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain
dengan mengutip pendapat kalangan Syafi’iyah,
darul-islam ada tiga macam. Pertama, tempat
bermukin para Muslimin. Kedua, daerah yang
ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang
ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai
oleh orang-orang kafir.
Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan
bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
kaum Muslimin tapi kemudian dikuasai orang-
orang kafir, daerah itu tetap disebut darul-
islam.
Keempat, kewajiban berbaiat. Mereka
menyebutkan, “Baiat adalah kewajiban umat
Islam.” (Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 65).
Mereka mengambil dasar dari sebuah Hadis
Ibnu Umar r.a, “Dan, barang siapa yang mati
tanpa baiat di lehernya, maka dia mati
jahiliah.” (HR. Muslim). Pada halaman 67,
mereka juga menjelaskan, “Baiat itu dengan
berjabat tangan atau dengan penulisan.”
Hadis di atas sebenarnya terpotong. Ada kutipan
sebelumnya yang berbunyi, “Barang siapa yang
melapas tangan dari ketaatan, maka dia akan
bertemu Allah di hari kiamat tanpa ada hujjah
baginya.” Maka, kutipan Hadis di atas
sebenarnya diarahkan kepada mereka yang
keluar dari ketaatan terhadap seorang imam. Itu
artinya, mati jahiliyah yang dimaksud bukan
diarahkan kepada orang yang tidak berbaiat
kepada seorangan khalifah, melainkan kepada
orang yang keluar dari ketaatan dan memisahkan
diri dari jamaah.
Hal ini diperkuat dengan Hadis Ibnu Abbas r.a,
“Barang siapa yang membenci sesuatu dari
pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar,
karena siapapun yang keluar sejengkal dari
(ketaatan terhadap) pemimpinnya dan mati
dalam keadaan itu maka dia mati
jahiliyah.” (HR. al-Bukhari). Kata ‘fatama
‘alaihi’ (kemudian mati dalam keadaan itu
[keluar dari ketaatan]) dalam Hadis tersebut
menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah
orang yang membangkan terhadap imam. Dan
juga Hadis Abi Hurairah r.a, “Barang siapa yang
keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah
kemudian mati, maka dia mati jahiliyah.” (HR.
Muslim).
Walhasil, konsep khilafah Hizbit Tahrir memang
lebih kaku dari konsep Ahlusunah. Ahlusunah
memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi
longgar. Dengan khilafiyah furu’iyah yang
beragam, dapat menjadi solusi jika memang
relita yang ada tidak memungkinkan.
Terlepas dari itu semua, coba Anda bayangkan
jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan
akidah mereka, maka bisa jadi setelah khilafah
tegak, mereka akan menemukan umat yang tak
sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-
Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa
Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (As-
Syakhshiyah al-Islamiyah, juz I, hal, 53-54).
Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk
merealisasikan penerapan ajaran Islam secara
sempurna. Namun, yang jelas kita berusaha
untuk syariat Islam ala Ahlusunah dengan
akidah Ahlusunah dan tentu saja cara yang
sesuai dengan Ahlusunah.
Wallahu a’lam .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar